Bagian 2 (Perfect boy?)

17.7K 796 10
                                    

Aron Albern

Tampan, kaya raya apalagi yang mereka harapkan dari seorang pria? Menunggangi kuda dan berjubah hitam? Aku rasa itu hanya ada di dalam sebuah dongeng Cinderella. Dalam kehidupan nyata, seorang wanita akan mencari pria yang tampan, bergelimang harta yang tak akan habis hingga tujuh keturunan. Ah aku sangat muak dengan wanita seperti itu. Apakah tak ada hal lain yang mereka harapkan dari seorang pria? Oh jangan selalu menganggap pria hanya bisa menyakiti wanita. Pria juga pernah merasakan disakiti, bahkan sering. Di dalam benakku hanya ada satu pertanyaan. Apakah ada cinta yang tulus? Tanpa mengaitkan pertanyaan siapa? Dan bagaimana? Siapa dia? Bagaimana wajahnya?

Sebuah keramaian di pinggir jalan membuatku terpaksa menghentikan mobil dan membunyikan klakson dengan sangat nyaring hingga membuat semua orang yang ada di sana mengernyitkan dahinya masing-masing. Aku membuka pintu mobil dan mengaitkan kancing jasku, mendekati sekawanan pria bertubuh kekar yang tengah mencengkram lengan seorang wanita. "Lepaskan dia," ucapku dengan nada pelan.

"Siapa kau? Berani-beraninya memerintah kami!" gertak salah satu pria bertubuh kekar itu.

"Aku Aron Albern," jawabku sembari melepaskan kacamata hitamku.

"Apa hubungannya kau dengan wanita ini?" pria lainnya menggertakku. Aku hanya menghela nafas dan menatapnya dengan tajam.

"Dia adalah kekasihku," jawabku spontan dan membuat wanita yang ada di cengkramannya melotot menatapku. Ekspresi yang biasa diperlihatkan seseorang ketika ia merasa kaget, hah sangat mudah ditebak. Kedua pria itu terkekeh seolah melemparkan ejekan padaku. Kukeluarkan beberapa lembar uang dari dompetku dan kuserahkan pada kedua pria itu. Dengan cepat mereka merampas uang tersebut dan meninggalkan wanita itu begitu saja.

"Kau tak apa-apa nona?" tanya seorang pria yang terlihat babak belur.

"Aku tak apa-apa. Dan kau-" wanita itu menatapku. "Terimakasih, kau sudah membantuku," ucapnya dengan seulas senyum yang menyungging. Aku hanya menyeringai dan mengacuhkannya. Aku berjalan bergegas memasuki mobil dan meninggalkan wanita itu begitu saja tanpa pamit. Tak ada yang menarik dari wanita itu. Oh aku baru ingat, wanita itu adalah seorang artis yang namanya tengah berbinar. Jesslyn Afton. Ya seingatku itu adalah namanya. Artis papan atas dengan segudang prestasi dan tentunya dengan kekayaan yang terbilang cukup menakjubkan untuk seorang artis muda sepertinya. Tapi tak sedikitpun aku tertarik padanya. Entahlah, aku sama sekali tak tertarik pada wanita di balik polesan make up. Semua itu adalah penipuan bagiku.

Sebaliknya, para wanita sangat menggilaiku. Tak jarang mereka mengejarku dan mengemis cinta padaku. Come on ladies... aku bukanlah seorang pangeran di negeri dongeng yang mengembara mencari cinderellanya. Aku adalah pangeran dunia nyata. Dimana sulit untukku mempercayai sebuah cinta. Aku juga bukanlah pria murahan yang begitu mudah meniduri sembarang wanita. Hahaha, aku bukan pria yang dengan mudah menyalurkan hasrat birahiku. Dalam hal sex, aku hanya mampu sebatas oral sex. Making love? Jangan bermimpi kalian bisa melakukannya bersamaku.

***

Mobil hitamku melesat memasuki area parkir sebuah Hotel. Aku memiliki beberapa hotel besar di kota ini. Dan semua kudirikan dengan kerja kerasku. Aku bukanlah pria muda yang merengek di bawah ketiak kedua orangtuaku. Meminta uang demi kepuasanku, oh itu bukanlah diriku. Begitu banyak cemooh berdatangan dari publik. Bahwa pria mapan berawal dari orangtua yang sangat kaya raya. Aku memang berasal dari keluarga yang cukup mapan. Tapi percayalah, aku tak pernah menyusahkan orangtuaku. "Selamat sore, Tuan," sapa seorang repsesionis. Aku hanya melambaikan tangan dan terus melangkahkan kaki menuju ruanganku.

"Tuan, jadwal meeting telah diubah sesuai dengan perintah, Tuan."

"Bagus."

"Lauching sebuah produk yang akan dilaksanakan minggu ini diundur minggu depan tuan," jelas sekretariesku yang sedari tadi membuntutiku.

"Atur semua jadwal, berikan layanan terbaik."

"Ayah anda berada di ruangan anda, Tuan." Kali ini ucapannya berhasil membuatku berhenti berjalan dan berbalik badan menatapnya.

"Apa?" tanyaku memastikan sekali lagi.

"Ayah anda menunggu anda di ruangan," ucap sekretariesku sekali lagi. Aku mendercakkan lidah dan berkaca pinggang. Jujur saja, hubunganku dengan ayahku sangat tak baik. Aku tak menyukai pekerjaan yang kini ia jalankan. Tak jarang aku dan ayah sering berdebat, mempersoalkan hal yang sama. Hingga akirnya aku memutuskan untuk tak menemuinya. Menemuinya sekali lagi dan berdebat dengannya, atau mungkin selanjutnya akan terus seperti ini. Dengan malas aku berjalan menuju ruangan dan menemui pria yang kini semakin renta. Aku membuka pintu, dan langsung menatap wajah santai dari pria yang duduk di meja kerjaku. Menarik nafas panjang dan mendekat kearahnya. Masih dengan tatapan santai, ayah menyesap cerutunya sekali sebelum ia berdiri dan memelukku.

"Lama tak melihatmu," ucapnya sambil menepuk-nepuk pundakku. "Bagaiamana keadaanmu?" tanyanya.

"Baik, kau sendiri? Bagaimana kesehatanmu?" tanyaku masih seperti terakhir kali bertemu dengannya. Dingin dan sangat ketus.

"Tak bisakah kau memanggilku dengan sebutan ayah?" kalimat itu keluar dari mulut pria yang sejak 27 tahun kukenal.

"Bisakah kau berhenti dengan pekerjaanmu? Maka aku akan memanggilmu dengan sebutan- Ayah." Pria itu terkekeh dan berjalan dengan tongkat kebanggaannya.

"Kau semakin angkuh Aron. Dengan semua yang kau miliki, apa kau tak sadar ada aku di belakang kesuksesanmu?"

"Ini semua kerja kerasku," bantahku tak terima jika ia selalu mengatakan semua adalah berkatnya. Selalu ia mengaitkan dirinya pada kesuksesanku. Aku tak sudi jika ia selalu membanggakan dirinya sedemikian. Dia memang memiliki kekuasaan, tapi tidak denganku. Dia tak bisa menguasaiku. Ayah dan ibuku telah lama bercerai. Dengan berpisah dari ibuku, maka ia akan bebas bersenang-senang dengan wanita. Ayah dengan mudah bergonta-ganti pasangan, dengan kekuasaanya, ia bisa sewena-wena. Apakah hanya itu yang bisa dilakukannya? Apakah tak bosan selalu mempermainkan hidup orang lain.

"Tanpa ayah, kau tak akan bisa seperti ini Aron!" bentak ayah. Aku hanya memalingkan wajah dan bergeming. "Kau sangat keras kepala. Sama seperti ibumu! Tidak tahu terimakasih!"

"Tak perlu kau sebut ibuku! Benahi dulu kehidupanmu!"

"Kurang ajar!" ayah mengangkat tongkat kebanggaannya dan hendak memukulku.

"Tuan, sudah Tuan," ucap anak buah ayah yang berusaha melerai.

"Jika bukan kau anakku, takkan kubiarkan kau hidup Aron Albern!" maki ayah sebelum ia beranjak dari ruanganku dan meninggalkanku seorang diri.

"Jika aku bisa memilih, aku tak ingin terlahir menjadi anakmu, Ayah."

======================================================================================

Part ini muncul secara tiba-tiba di otakku hihi. maafkanlah jika singkat >< aku harus memaksakan untuk update part ini sebelum idenya menghilang dibawa rasa malas hehehe

The royal bridal (Complite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang