Chapter 8

107 6 2
                                    


Tak ada masalah dengan kepalaku hingga dokter pun langsung mengizinkanku pulang keesokan harinya. Kak Rio dan Kirana bersikeras agar aku istirahat selama beberapa hari. Malas berdebat dengan mereka, aku pun mengiyakan.

Satu minggu aku bermalas-malasan di tempat kos. Kirana dan kak Rio bergantian membawakanku makanan atau majalah atau melakukan apa pun agar aku tak bosan. Akhirnya hari ini aku kembali ke kampus untuk konsultasi skripsi. Aku memutuskan beristirahat sejenak dari pekerjaanku untuk fokus pada skripsiku. Kali ini aku lebih pintar. Skripsiku aku print di kertas bekas sebelumnya, sehingga aku takkan merasa sakit hati saat dosenku mencorat coret kertas itu.

Hasilnya, bab yang kukerjakan selama 2 minggu sudah habis tercorat coret hanya dalam waktu 15 menit. Semua instruksi perbaikan sudah tertulis disana dengan spidol merah. Aku menghela nafas. Paling tidak skripsiku sudah maju selangkah. Tiba-tiba, handphone bututku berbunyi.

"Halo, kak Kana!!" Suara ceria seorang gadis menyambut sapaanku.

Aku mengernyit bingung. Siapa yang menelponku ini? "Ini Rena, kak. Kakak belum lupa sama aku, kan?"

Aku tersenyum. "Apa kabar, Rena?" balasku ceria.

Suara tawa menggema di telingaku. "Harusnya Rena yang bertanya. Kan, kakak yang kemarin masuk rumah sakit." sahutnya lincah.

Aku mengerucutkan bibirku. "Hari ini ada waktu, kak? Jalan sama Rena, yuk."

Aku terdiam sejenak. Hmm... aku juga sedang bosan. "Boleh. Kapan? Kakak lagi di kampus. Mau ketemu dimana?" tanyaku riang.

"Rena sudah di jalan. Biar Rena jemput kakak di kampus, ya." ujarnya sebelum mematikan telepon sesudah aku menyetujuinya.

Heran. Dari mana gadis itu tahu nomor telepon dan kampusku? Aku berjalan ke luar kampus untuk menunggu gadis itu menjemputku. Kalau aku bisa bertemu Renata, mungkinkah aku bisa bertemu kak Dion juga? Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat. Mikir apa, sih, aku ini? Jangan mengharap yang bukan-bukan. Pria setampan kak Dion tak mungkin belum mempunyai kekasih. Dengan tak sabar, aku menepuk-nepuk kepalaku.

"Kak Kana, baik-baik saja?" Sebuah suara menyapaku.

Aku mengalihkan tatapanku. Sebuah mobil sedan hitam terparkir di hadapanku. Renata menjulurkan kepalanya dari jendela.

"Sakit kepala?" tanyanya lagi.

Aku dengan cepat memulihkan diri dari khayalanku. "Tidak. Kakak baik-baik saja." sahutku sambil berjalan ke arah pintu penumpang dan masuk ke dalam mobil. "Mau kemana kita? Kamu tidak sekolah?"

Renata nyengir lucu. "Pulang lebih awal, kak." sahutnya sambil mulai menjalankan mobil. "Kita cari makan dulu, ya. Sudah hampir jam makan siang dan Rena lapar banget."

Aku hanya bisa tertawa. Hmm... jadi siswi SMA memang menyenangkan. Punya banyak waktu luang. Tapi saat aku SMA pun, waktuku habis untuk belajar demi mendapatkan beasiswa ke universitas.

Kami berhenti di sebuah cafe yang sepertinya cukup mahal. Rena memesan makanan, minuman serta cemilan. Sementara aku hanya memesan segelas hot chocolate. Saat Renata bertanya, aku hanya menjawab bahwa aku sudah makan di kampus tadi.

"By the way, darimana kamu tau nomor telepon dan kampus kakak, Rena?"

Aku tadinya tak mau bertanya soal itu. Tapi apa daya, aku penasaran sekali.

"Rena copy dari handphone kak Rein." Gadis manis itu nyengir malu.

Hmm... jadi kak Dion punya nomorku. Tapi mengapa sejak pertemuan kami itu dia tak pernah sekalipun menghubungiku?? Ish... aku jadi kepikiran sendiri.

"Pasti kak Rio, deh, yang membagikan kontakku." Ujarku setengah kesal.

Renata menatapku. "Kak Kana tak suka, ya, kalau Rena dan kak Rein menyimpan kontak kakak?" tanyanya polos.

Oh, astagaa... aku tak bermaksud seperti itu. Aku memamerkan senyumku sambil menggelengkan kepala.

"Bukan itu yang kakak permasalahkan. Kak Rio seringkali menjodohkan kakak dengan teman-temannya. Kakak kesal kalau dia melakukan itu tanpa sepengetahuan kakak." sahutku.

Kak Rio memang kadang keterlaluan bercandanya.

Renata tertawa riang. "Tapi Rena senang kalau ternyata kak Kana memang berjodoh dengan kak Rein." sahutnya.

Aku mengerucutkan bibirku. "Memangnya kakakmu itu belum punya pacar? Sampai adiknya pun berusaha menjodohkannya."

Renata terdiam seolah berpikir. "Kak Rein tak punya pacar. Tapi ada yang selalu mendekatinya. Dan Rena benci gadis itu. Selalu mengganggu kak Rein."

Aku tersenyum menatap gadis itu. Mungkin dia tak suka perhatian kakaknya terbagi. Tak sengaja aku menangkap sosok yang aku kenal. Seorang gadis cantik tengah menggandeng mesra tangannya. Sedangkan pria itu seolah enggan menanggapinya.

"Rena. Itu kakakmu bukan?" Aku bertanya seraya mengedikan kepala kearah kak Dion.

Renata menoleh. Lalu berbalik lagi padaku dengan wajah masam tak suka.

"Iya. Sama kak Indi." sahutnya dengan nada yang luar biasa tak suka.

Aku bingung juga melihat reaksi Rena terhadap gadis cantik nan seksi yang menempel pada kakaknya itu. Lalu, dengan cepat remaja itu melambaikan tangannya sambil berteriak memanggil kakaknya.

Kak Dion menoleh. Sesaat kemudian, senyum di wajahnya merekah ketika melihat kami ditengah kerumunan pengunjung. Ralat, senyumnya merekah saat melihat adik kesayangannya. Untuk apa pula kak Dion senyum seperti itu hanya karena melihatku. Jangan ge-er, Kana.

Kak Dion dengan cepat menghampiri kami. Kulihat wajah tak suka gadis di sebelahnya yang begitu saja ditinggalkan dan berusaha menyusul. Kali ini aku menoleh dan menemukan wajah Renata tersenyum penuh kemenangan. Astagaaa... kenapa sih kedua gadis ini sepertinya sangat saling tak suka.

Kak Dion dengan sayang mengacak rambut lurus sepinggang Renata sampai gadis manis itu mengerucutkan bibirnya, sebal.

"Kamu sedang apa disini, Re? Bolos sekolah ya? Kok bisa sama Kana?" Tanyanya sambil kembali mengembangkan senyumnya.

Aduuuh... Lesung pipi kak Dion yang selalu aku ingat kini terpampang dengan indahnya di hadapanku. Astagaa... sejak kecelakaan itu sepertinya otakku mulai ngaco.

"Rena pulang cepat, kak. Lalu janjian sama kak Kana." Sahut Renata sambil nyengir.

"Kak Rein kenal sama gadis ini?" Tanya gadis manis di sebelah kak Dion.

Oke. Gadis ini menatapku tak suka. Tatapan matanya bahkan kunilai lebih menusuk dibanding tatapan Renata pasanya tadi. Ada apa, sih, ini?

"Kalau kenal memangnya kenapa? Kak Indi kan bukan pacarnya kak Rein." Balas Renata sengit.

Dan astaga. Gadis cantik itu berubah. Wajahnya berubah seram saat marah. Dia terpancing ucapan Renata. Aduuh. Situasi jadi tak enak begini. Kak Dion pun hanya diam menonton sambil sesekali tersenyum simpul. Aku memijat-mijat dahiku, pusing.

"Diam kamu, anak kecil! Tak perlu ikut campur urusan orang dewasa." Hardiknya kesal.

Tangan dengan kuku mengkilap gadis itu melayang, siap memukul Renata.

Kak Dion dengan sigap menangkap tangannya, sebelum tangan itu menyentuh bahkan seujung rambut Renata.

"Cukup, Indi. Kamu tidak malu ditonton banyak orang seperti ini? Sudah. Aku tak ingin mendengar kalian bertengkar lagi. Ini kunci mobilku. Kamu pulang saja."

Kak Dion memberikan kunci mobilnya pada gadis itu tanpa menunggu kata-kata apapun lagi. Kemudian menarik lembut tangan adiknya menjauhi gadis itu. Sekilas aku melihat senyum penuh kemenangan di wajah Renata. Aku pun tak mau lagi berlama-lama disana dan langsung menyusul mereka, meninggalkan gadis bernama Indi itu tercengang sendirian.

Author's note:
Akhirnya udpate jugaaa... maaf ya lama banget updatenya. Diusahakan lebih cepat lagi nanti. Sekedar info aja. Mulai chapter depan Dion akan benar-benar ganti nama jadi Rein ya. Supaya yang baca ga bingung.
Makasih banyak buat yang masih nungguin update ceritanya. Sabar ya...

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 06, 2016 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Forever MineWhere stories live. Discover now