David, dengan gaya profesionalnya, langsung memperkenalkan teman-temannya satu persatu.

"Aku David, dan ini istriku, Tyas. Disana ada Alex, Tatsuya, Carlos dan Leo serta masing-masing istri mereka, Steffi, Gaby, Rhea dan Eugene."

"Salam kenal," balas Chiko, "Aku Michiko Nakahara, Duta Kebudayaan Jepang untuk Indonesia. Kalian cukup memanggilku Chiko."

"Gadis ini terlalu baik untuk Kris," desis Leo.

"Manis, dan sopan, tidak seperti Kris," timpal Alex.

"Hei, hei, kalian membuatnya bingung tahu!" Kata David untuk menengahi. "Maaf membuatmu bingung, tapi aku hanya ingin mengatakan kalau, kami ingin kau untuk menjadi istri sahabat kami. Namanya Kris."

"Kris? Siapa?"

"Kris Aikawa! Kau sudah bertemu dengannya sebanyak sepuluh kali bulan ini!" Balas David. "Dia selalu hadir di setiap pameran budaya Jepang yang di selenggarakan oleh Kedutaan."

Chiko mulai menggali ingatannya. Sepertinya dia ingat ada seorang lelaki yang selalu muncul di pamerannya. Lelaki yang terlihat lusuh, dengan kaos oblong putih yang dipakainya, dengan luaran kemeja kotak-kotak dan celana jins kelonggaran. Rambutnya juga lumayan panjang sampai lehernya.

"Maksudmu, laki-laki eksentrik, yang memakai topi fedora?" Tanya Chiko.

"Headshot! Betul sekali!!!" Seru David. "Menurutmu bagaimana Kris? Dia menarik bukan? Sangat menyenangkan, pula!"

Chiko merasa dirinya sedang di hadapkan dengan pilihan antara hidup dan mati. Tak ayal, Chiko juga merasa bahwa dirinya akan segera di minta oleh orangtuanya untuk menikah setelah tugasnya sebagai duta budaya Jepang selesai.

"Bagaimana? Apa kau mau? Aku yakin kau tidak akan menyesal."

Entah setan dari mana yang mendorong Chiko, akhirnya dia mengangguk pelan.

-----

"Ah, apaan lagi sih kalian ini?!" Dengus Kris kesal. "Aku sudah bilang, no more girls. And no more effort to make me move! Hei, kalian bahkan sudah menipuku, dan membuat Ayahku menelepon dari Jepang ya? Astaga, aku tidak sadar kalau kalian semua membuat skenario yang bagus sekali. Siapa pengarangnya? Carlos? Sutradaranya? Steffi?"

"Hei, jangan asal tuduh begitu, Kris," kata Leo dengan kepala dingin. Walaupun selebihnya tidak benar-benar salah apa yang di katakan oleh Kris barusan.

"Berapa persen kebenarannya dari yang aku katakan?"

Pertanyaan itu di jawab dengan keheningan di antara keenam lelaki dan lima wanita yang sedang mengelilingi meja Fons di sore hari itu.

"Aku tanya disini. Berapa persen yang benar dari omonganku barusan?"

"Kau salah, ide cerita dan pengarangnya bukan hanya Carlos, tapi David juga, selain itu, dia juga yang menjadi sutradaranya," jawab Alex singkat dan lugas. "Tapi itu bukan titik masalahnya, Kawan."

Kris memandang sinis. "Aku, dengan Michiko Nakahara hanya sekedar bertemu di sebuah pameran budaya Jep--"

"Tapi kau mendatanginya sebanyak sepuluh kali selama sebulan." Rhea menengahi ucapan Kris, dengan memotongnya.

"Nice shot, Rhe!" Seru David senang. "Nah, itu yang ku maksud. Kenapa kau harus datang ke setiap pameran itu? Kalau memang tidak ada yang membuatmu tertarik, kenapa kau harus datang kesana dan tak berhenti melihatnya kalau begitu?"

"Dari mana kau tahu--ah, pasti Tevin! Pasti dia kan yang menguntitku!"

"Akhirnya dia mengakuinyaaa!! Ah, Tyas, aku senang sekali mendengarnya mengaku seperti itu!" Seru David sambil terharu.

"Baiklah, baiklah, ini artinya kau mengakuinya," kata Tatsuya. "Kau memang punya rasa--sekecil apapun yang kau rasakan itu--kepada Michiko, itu adalah peluang dan harapan yang bagus bagi kami, dan terutama..."

Kris mendengar ucapan Tatsuya menggantung. "Apa? Terutama apa?"

"Keluargamu, Kris!" Seru mereka bersebelas dengan kompak.

"Seriuslah sedikit, Kris. Kau hebat, dan kau sukses. Kau tidak mau selamanya bergantung pada bisnis keluargamu, makanya kau membuka Fons," kata Leo untuk membuka matanya.

"Kau membuka Fons, untuk mencari penghasilanmu sendiri bukan?" Ulas Carlos, "Dan harus kuakui, kau berhasil mengelola bisnis kafe kecil seperti ini. Aku tidak pernah melihat Fons sepi."

"Di Fons aku bertemu dengan Tatsuya," kata Gaby, "Tidak tahu apa aku bisa bertemu Tatsuya jika tidak ke Fons."

"Aku juga," balas Steffi, "Tempatmu ini seperti membuat love attraction kepada aku dan Gaby."

"Disini, aku, Eugene, Steffi dan Gaby sering berkumpul, dan, hei! Siapa sangka, kami samgat dekat sekarang, di tambah dengan Tyas sekarang," jelas Rhea.

"Ya, hanya kau saja Kris. Kita hanya menunggu seorang yang bisa bergabung menjadi sahabat baru kita," jelas Eugene.

"Lagi pula, Chiko gadis baik dan manis sepertinya."

"See?" Tanya David, "Mereka semua saja sudah semangat. Begitu pula kita sebagai suami-suami disini!"

Kris mendengus kesal. Sebenarnya salah makan apa sih teman-temannya semua ini?

"Begini saja, kau si Pebisnis ulung yang hebat, bisakah kau membuka hatimu untuk perempuan satu kali lagi saja?" Tanya Carlos, "Hanya satu kali ini saja, Vid. One last chance."

Kris mengamati mata demi mata sahabatnya serta istri-istri mereka. Semuanya penuh harap, dan keinginan agar Kris dapat membuka hatinya, memberi satu kesempatan.

Kalau boleh jujur, alasan yang di katakan David memang benar. Dia ke pameran itu untuk melihat seorang gadis berambut hitam lurus dengan kulit kuning langsat dan wajah cantik nan manisnya itu.

Jadi, bukan hal yang sulit bagi Kris sebenarnya untuk membuka hati pada Michiko. Toh, secara fisik, dia sudah terpikat.

Namun, seketika dia teringat pada masa lalunya. Erika.

"Tapi Erika--"

"Lupakan Erika," jelas Leo, "Sama seperti aku melupakan Vega yang sudah meninggalkanku. Tidak selamanya kau akan sendirian bukan?"

Kadang, omongan temannya pahit, tapi benar. Jadi akhirnya dia menarik satu napas yang dalam.

"Baiklah. Akan ku coba."

Mr. Business and The Ambassador GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang