3. You Must Be Kidding

11.6K 797 58
                                    

Aku memandangi resah jam yang melingkar dipergelangan tangan kiriku. Entah mengapa, bagiku detiknya terasa berjalan sangat cepat.

"Emily, aku harus pergi sekarang. Aku tidak ingin terlambat."

Sudah berkali-kali aku berbicara dengan kalimat yang sama, tetapi Emily Campbell masih menyeretku keluar masuk satu persatu outlet mall.

"Sebentar lagi, masih ada yang ingin ku beli."

Emily berjalan mendahuluiku dengan menggenggam seluruh belanjaannya, sementara aku hanya mengekor pada sahabatku ini. Emily bisa dibilang penggila belanja, matanya akan menggelap jika sudah melihat barang baru terpampang. Berbanding terbalik denganku. Aku hanya berbelanja jika aku benar-benar membutuhkan suatu barang.

"Lily, bisa aku meminjam uangmu? Kartu kreditku sudah limit." Pintanya diikuti cengiran kuda.

"Tentu saja." Aku merogoh dompetku, lalu memberikan padanya.

"Aku akan segera menggantinya."

"Tidak usah kau pikirkan. Setelah ini aku benar-benar harus pergi."

Emily pun mengangguk cepat seraya memberikan kartuku pada wanita yang berdiri dibalik mesin kasir. Aku melirik ponselku yang terus berbunyi, siapa lagi jika bukan Matthew. Dia sudah mengingatkanku dari jauh-jauh hari bahwa pemotretan kali ini sangat penting.

"Maaf, boleh saya berfoto dengan anda?" Tanya salah satu pegawai saat kami hendak pergi. Wajahnya tergurat senang hingga dia menutup mulutnya sendiri. Tatapannya turut berbinar memerhatikan kami.

"Ya, mari." Jawabku.

Oh ini sebenarnya sudah terlambat. Aku tidak mungkin datang tepat waktu ke tempat pemotretan, tetapi aku tidak bisa mengabaikan permintaannya. Pegawai tersebut berdiri di tengah, diapit olehku dan Emily, sementara pegawai lainnya bersiap mengambil foto.

"Maaf, apa saya bisa berfoto berdua dengan anda saja? Saya mengidolakan anda." Ucap pegawai itu pelan sembari melihatku. Emily yang mendengar hal itu langsung menunduk dan menepi.

"Bagaimana jika aku yang memotret kalian?" Tawar Emily tiba-tiba. "Biarkan aku yang memegang ponselmu." Lanjut Emily pada pegawai yang awalnya akan mengambil foto kami.

Emily mengambil beberapa kali dengan raut yang jelas-jelas dipaksakan tersenyum. Pegawai tersebut memelukku erat sebelum akhirnya aku dan Emily melenggang pergi.

Entah para pegawai itu sadar atau tidak, Emily juga berprofesi sama denganku. Hanya saja dia memang baru menjajaki dunia model dengan serius selama 6 bulan terakhir. Kini aku merasa tidak tahu harus bersikap bagaimana pada Emily. Pasalnya hal barusan sudah sering terjadi, dan aku tidak ingin terus-menerus menyinggung perasaan Emily secara tidak langsung.

Gadis berambut pirang ini tiba-tiba saja menghentikan langkahnya, menatapku. "Lily, mengapa kau melamun?"

"Aku lapar." Ucapku kikuk.

Emily menekan ujung hidungku. "Kau pembohong yang payah. Lihatlah, hidungmu kembang-kempis seperti ini." Tawa Emily pecah disertai dia mengamit lenganku. "Ayo cepat sebelum kau terlambat. Kau cukup duduk manis di mobil dan biarkan Emily Campbell yang menyetir. Let's go!"

*****

"Kata sepakat perusahaanku dengan anda sudah tidak berlaku dari 2 jam yang lalu. Kami tidak bisa mentolerir rekan kerja yang tidak profesional. Jadi anda bisa pergi sekarang."

Love Affair Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang