Embun Dan Sebongkah Es

178 15 12
                                    

Andai jika aku tahu perasaanmu lebih rapuh dari embun di permukaan gelas, mungkin aku sekarang tak harus terduduk diam di sini mendengar segala keluh kesahmu. Andai dulu aku tak menuang beku pada segelas air itu, tak usah aku lihat bagaimana embunnya mendarat tanpa penuh perhatian di atas mejaku. Sejatinya aku muak. Aku muak dengan kamu yang rapuh. Kusingkirkan gelas itu dari hadapanku. Kucondongkan tubuhku ke arahmu. Kamu diam. Masih membisu. Dengan mata sendumu. Mendadak kau yang biasa mengoceh pun jadi gagu.

"Jadi kita berakhir sampai di sini?" kataku, jelas.

Samar, kamu mengangguk. Bongkah es dalam gelas itu gemeretak. Embunnya tiba-tiba saja menyeruak. Aku tak gentar dengan jawabanmu. Aku terus meminta penjelasan darimu. Namun yang kamu beri hanya bisu. Apa? Apa susahnya berbicara?

Mulutmu kini mengadu-adu. Kamu menuntut segala apa yang telah kamu dan aku lalui. Dalam sekejap kamu meminta membekukan detik disaat kita masih sepolos dua anak kasmaran yang tak tahu apa itu sakit hati. Kamu minta aku untuk bekukan waktu. Lalu menyelipkannya dalam hatimu dengan berbungkus seutas perih yang entah kapan lekang oleh waktu.

Kamu menatapku. Membayangkan betapa kejamnya aku. Namun aku tak menatapmu, atau sekedar bersimpati padamu. Tapi aku memerhatikan embun pekat pada gelasmu. Betapa banyak embun yang jatuh sia-sia hanya karena kembalinya es menjadi air? Mendadak aku membenci diriku sendiri. Kukepalkan tanganku erat. Kumaki gelas kaca itu karena telah membuatku tersadar akan sesuatu.

Kamu adalah embun. Aku adalah es.

Aku benci karena dalam gelasmu, aku adalah es. Yang membuatmu—embun—tercipta di permukaannya. Lalu jatuh bebas tanpa seorang pun yang menyadari. Aku ini sebongkah es. Sebongkah es yang mencari tempat untuk mencair. Kembali menjadi air. Kembali menguap, menjadi hujan, yang pada akhirnya terdampar dalam gelas kacamu. Aku sadar aku telah ciptakan embun. Aku sadar, jika tak menetes percuma, embun hanya akan menghilang jadi uap dan menetes kembali disaat hujan berinai-rinai. Mustahilah untukku mencari embunmu di antara jutaan tetes air langit.

Hingga kini kamu masih tersedu. Matamu basah akan sesuatu yang harusnya tak usah kau tangisi. Aku, tak pantas membuatmu jadi begini.

Mungkin dulu, aku dan kamu, sama-sama tergila-gilanya. Sama-sama jatuh sedalam-dalamnya. Dulu kita bak air membeku. Begitu menyatu. Tanpa cela. Tanpa sekat. Tak ada jarak. Tapi aku tahu, aku sekarang tampak seperti pembual. Yang tak bisa jaga apa yang pernah kuucapkan. Kita telah mencair dari es. Kita berpisah. Tercecer menjadi tetes air menyedihkan.

Kamu berusaha mengembalikan segalanya seperti semula. Kamu berusaha keras, hingga kamu sendiri penat. Namun tak seharusnya kamu langkahi takdir. Kamu dan aku hanyalah air. Yang mencari tempat bermuara. Tempat untuk mengalir. Tempat untuk menumpahkan rindumu akan diriku. Aku tahu, aku tahu apa yang kamu rasa. Aku bukan naif, aku hanya tak ingin melakukan usaha percuma untuk kembali mempersatukan kita.

Namun di sana, aku beranjak dari tempat dudukku. Kuraih dirimu. Kubenamkan dalam pusaran rasa nostalgik yang tak pernah kau bayangkan. Hanya maaf yang terlantun seperti khusyuknya doa dari mulutku. Kamu pun meraihku pula dengan intuisimu yang tetap kokoh bahwa kita akan kembali seperti dulu. Mulutmu mengucap beribu kata untuk buatku tetap ada.

Namun sayang. Kurasa lain kali. Aku tahu. Tahu betul. Kita mungkin berbeda. Kamu embun, aku sebongkah es. Namun pada dasarnya kita sama. Terbuat dari hal yang sama. Namun caramu melihatnyalah yang berbeda. Jalan pikirmu memang susah kuduga.

Kamu embun. Pergi ke udara terlebih dulu. Punya usia lebih pendek dariku. Namun aku berjanji, aku akan menyusulmu. Dalam wujud yang sama seperti dirimu.

Air.

Kita akan bersama. Melalui siklus alam yang mungkin pernah kamu ketahui, namun kamu lupa. Kita berarak-arak menjadi awan. Melihat bumi yang sama. Namun awan yang manakah kamu?

Pada akhirnya kita menjadi rinai hujan yang sendu.

Tetes yang manakah kamu?

-didedikasikan untuk orang yang sudah buatku jatuhsedalam-dalamnya, hingga aku pun lupa cara untuk bangkit dan berdiri sepertisedia kala-���\^>0DV9



Air & Deret KataWhere stories live. Discover now