10.Goodbye

51 3 0
                                    

.
.
.

Hari Kelulusan-.

Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu semua siswa dan siswi SMA Nusantara. Dimana setiap siswi diwajibkan memakai baju kebaya sedangkan siswanya diwajibkan memakai jas. Hari ini pula segalanya di tumpahkan.

Sebagian merasakan betapa bahagianya karena mereka telah menjadi fresh graduation. Mereka berpikir, setelah masa-masa SMA ini berakhir mereka akan terbebas dari jeratan omelan guru, peraturan sekolah yang terkadang tidak ada sangkut pautnya dengan proses belajar mengajar, dan tugas-tugas yang membuat pusing tujuh keliling.

Dan masa kuliah yang menurut mereka menyenangkan hanya tinggal satu langkah lagi.

Lalu sebagian orang lainnya merasakan kesedihan. Meninggalkan gedung sekolah tercinta mereka yang telah dihuni tiga tahun lamanya. Melukis kenangan-kenangan manis hingga pahit bersama si dia dan teman-teman. Rasanya, hal yang kaku untuk meninggalkan gedung yang telah banyak mengajarkan arti kehidupan bagi mereka.

Begitu pula Aster. Sedari tadi ia hanya diam sembari memperhatikan sekelibat susuan acara. Ia diam sedangkan mamanya sedari tadi tidak henti-hentinya bertanya hal semacam, "Ne, itu siapa? Kok ganteng sih. Harusnya kamu gebet dia aja." Atau, "Ne, dia cantik tuh. Harusnya kamu temenan sama dia aja. Biar nular cantiknya."

Ya, Aster akui kalau mamanya memang sedikit rasis.

"Aku dapat beasiswa di Austria, tan."

"Ne, gue keterima di UGM."

Perlahan tapi pasti, Aster merasakan dadanya seperti terhantam benda yang sangat kuat. Ia merasakan sakit yang amat sangat. Dua orang yang selama ini selalu mengisi relung hatinya kini akan pergi, meninggalkan Aster sendirian bersama pilihan hidupnya.

Tanpa disadari. Aster memegang bawah kursi dengan erat. Menahan agar air mata sialan itu agar tidak keluar, lagi. Aster tidak mau egois. Itu adalah pilihan mereka berdua. Aster tidak mau menjadi tembok penghalang bagi mereka berdua. Mungkin jika mereka berdua sudah menjadi orang besar, Aster lah yang pertama kali merasakan kebahagiaan itu setelah kedua orang tua mereka.

"Ne, ngelamun aja," tiba-tiba Deryl sudah duduk di sampingnya.

"Oh, puisinya keren deh," ujar Aster berbohong.

"Lo nggak lagi merhatiin si pembaca puisi, Ne." Deryl menatap Aster dengan intens. "Lagi ada masalah?"

Terkadang, Aster benci kenyataan bahwa Deryl terlalu mengenalnya. "Gue cuman lagi mikirin sesuatu, nggak berat, kok."

Deryl mengangguk pelan. "Btw, ini jas bikin gerah banget deh, ya," Derly menarik-narik ujung kerah kemejanya agar bisa mendapat angin. "Acaranya lama banget lagi."

"Sabar, Ryl," Aster tertawa pelan. "Seumur hidup sekali juga."

"Tetep aja gerah. Lagian tadi kepala yayasan kebanyakan ngomongnya. Udah di ulang-ulang lagi."

Aster hanya menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar gerutuan Deryl. Sedangkan mamanya sudah mencolek-colek bahunya sedari tadi.

Dengan jengah. Akhirnya Aster mengalah. "Ma, kenalin ini Deryl. Sahabat aku."

Tita tersenyum (sok) anggun sambil menjabat tangan Deryl. "Halo, saya mamanya Aster. Dia sering cerita loh tentang kamu."

Moonbeam Where stories live. Discover now