08.Truth

76 9 3
                                    

.
.
.

Tidak ada hari yang lebih indah di sekolah selain kepala sekolah mengadakan rapat mendadak dengan semua guru, dan menyebabkan seluruh lorong kelas sepuluh hingga kelas dua belas ramai dipadati siswa-siswi yang sedang asik membunuh rasa bosannya di depan kelas.

Entah itu membaca novel sendirian, bermain handphone sambil tersenyum-senyum sendiri, bergossip bersama gengnya, hingga bermain kartu Uno tanpa mengenal jenis kelamin. Seakan semua berpesta akan rapat guru mendadak hari ini.

"Aneee! Lo mau kemana? sini mau Uno bareng kita." Rena menepuk ruang kosong yang tepat berada disampingnya.

"Mau ke bawah."

"Ih, ngapain sih lo? ayo, main aja." Rajuk Rena.

"Engga ah." Aster tersenyum simpul. "Nanti muka gue cemong lagi, kayak Dendy."

Mendengar ledekan dari Aster, seluruh pasang mata menatap Dendy yang sedang duduk di samping pintu sambil memegang kartu. Sontak semua tertawa saat mengetahui wajah Dendy yang sudah dilumuri bedak karena kalah bermain.

"Bego, Dendy mah engga bisa main." Celetuk Bobby sambil menjitak kepala Dendy.

"Sakit, Anjir." Ringisnya. "Gue mah bukannya engga bisa, tapi dicurangin mulu daritadi."

"Yeh, siapa yang mau nyurangin elu." Teriak para pemain Uno berbarengan.

Aster menggeleng pelan. "Udah ya, Ren. Gue mau ke bawah dulu, laper."

"Bawain es teh!" Teriak Dendy.

"Sip." Balas Aster.

Aster berjalan riang sembari bersenandung kecil melewati lorong kelas sepuluh yang berada di lantai dasar. Sesekali ia mendengus geli saat adik kelas yang terdiri dari kaum adam itu dengan beraninya bersiul kearahnya.

Prioritas utamanya saat ini adalah perut. Jadi, tujuan utama Aster ke lantai bawah dan berjalan sendirian seperti orang jones ini hanya karena perutnya yang meminta asupan gizi. Padahal beberapa jam yang lalu, Aster baru saja menghabiskan bekal nasi goreng buatan Tita.

Baru saja ia ingin berbelok, tiba-tiba suara nyaring dari Aula memanggilnya. Aster menghela nafas panjang, lalu berbalik mengahadap guru yang memanggilnya barusan.

"Nak, kesini kamu!" Wanita paruh baya itu melambaikan tangannya dari celah pintu Aula.

Mau tidak mau, Aster harus menghampiri gurunya itu dan bersikap sopan ala murid padahal dalam hati sangat geram.

"Iya, Bu. Ada apa ya manggil saya?" Tanya Aster dengan suara lembut.

Bu Darma—guru yang menggangu acara makannya itu—menoleh ke belakang. Berbicara kepada partner gurunya sebentar, lalu kembali menghadap Aster dengan senyum lebarnya.

"Nak, ibu boleh minta tolong?"

Dengan berat hati Aster mengangguk.

"Tolong ambilkan Mic di ruang musik, ya. Kami kekurangan Mic." Pinta Bu Darma sambil menepuk pundak Aster.

"Yang warna silver, Ma." Teriak seseorang dari dalam Aula.

"Oh, yang warna silver, ya. Nak." Beonya.

Aster mengangguk mengerti. Tanpa basa-basi lagi, Aster langsung meleset ke ruang musik yang untungnya masih berada di lantai dasar.

Aster menghela nafas lega saat dirinya sudah berada di depan pintu berwarna tosca—ciri khas dari ruang musik. Dengan cepat Aster menekan kenop pintu ruangan ini. Saat ia sudah selangkah masuk ke dalam ruang musik. Suara petikan gitar membuat langkah kakinya berhenti.

Moonbeam Where stories live. Discover now