05.Jealous

82 11 0
                                    

.
.
.

"Kak Aster."

Panggilan dari belakang mampu membuat langkah Aster terhenti.

Astaga, siapa yang berani-beraninya memangil Aster saat keadaan genting seperti ini. Aster mengusap mukanya, ia menatap lapangan yang sudah mulai ramai oleh siswa-siswi yang sedang merapikan barisan mereka, sambil mendesah pelan ia membalikkan badannya.

Sedikit terkejut, Aster mengangkat alisnya. "Apa?"

Manda-orang yang memanggil Aster barusan-menggaruk kepalanya. Ia meminta maaf lewat tatapannya. "Maaf, kak. Tapi ini penting. Anggota kita kekurangan satu orang. Kakak bersedia jadi PMR? hari ini aja kok."

Aster membulatkan matanya. Ia tersenyum lebar, lalu mengangguk tanpa memikirkan apapaun. Yang hanya ia pikirkan adalah, ia tak perlu repot berlari untuk memasuki barisan, ia juga tidak akan kepanasan karena tidak mengikuti upacara seperti biasanya.

Dengan meng-iyakan ajakan Manda, Aster dapat memakai topi dan kain berwarna biru untuk menandakan dirinya adalah anggota PMR-walaupun hanya sehari-dan juga ia hanya akan berdiri di koridor sembari melototi siswa atau siswi yang gelagatnya akan tumbang, lalu ia akan mengantarkan murid yang pingsan itu ke dalam UKS.

"Mana kain sama topinya?" Tanya Aster.

Manda tersenyum senang. Ia berjalan ke dalam UKS untuk mengambil perlengkapan yang diminta seniornya ini.

"Ini." Ujar manda sembari memberikan topi dan kain khusus anggota PMR.

Aster mengangguk. Ia memakai topinya-yang sepertinya kebesaran-dan mengikat kain biru itu ke lehernya.

Aster tersenyum puas di kaca tempat piala-piala terpajang. Memang dari dulu ia sangat ingin menjadi bagian dari PMR, tapi karena badannya yang ringkih dan sangat sering terkena penyakit, mamanya tidak mengijinkan dengan berbagai alasan.

Aster berjalan di koridor. Upacara sudah dimulai tiga menit yang lalu, terdengar suara lantang pemimpin upacara yang sedang memberi penghormatan kepada pembina. Aster terhenti, lalu menggerakkan tangannya untuk ikut hormat kepada pembina.

Setelah aba-aba dari pemimpin, tangannya ia turunkan kembali. Lalu Aster berjalan ke barisan kelas dua belas. Ia memberhentikan langkahnya di samping Luna, adik kelas yang sudah akrab dengannya.

Aster berdehem, dengan sengaja ia menyenggolkan bahunya ke bahu Luna. Membuat gadis mungil itu mengangkat kepalanya dan bersiap mengomel siapa yang mengganggunya barusan.

Luna sedikit tercekak, tidak menyangka kalau orang yang menyenggolnya tadi adalah Aster. Kakak kelas yang sangat baik kepadanya.

"Apa? lo mau ngomel sama gue?" Tantang Aster sembari menahan tawanya.

Luna menggeleng. "Engga jadi, soalnya yang nyenggol kakak." Ujarnya polos. "Eh, kok lo bisa ikut? bukannya anak kelas dua belas udah engga boleh PMR? setau gue juga dulu lo cuma ikut model, engga ikut PMR."

Aste menggerakan topinya ke kiri dan ke kanan sambil tersenyum miring. "Iya dong. Aster."

"Serius, kak. Kok lo bisa pakai itu?" Ujar Luna menunjuk topi dan kain yang Aster pakai.

"Kenapa sih? kepo banget perasaan."

Luna menggeram kesal. Tidak mau berdebat dengan ratunya, ia lebih memilih memperhatikan siswa-siswi.

"Dia gantiin Deo."

Luna dan Aster menoleh, sedikit terkejut karena Manda sudah ada di samping Aster. Manda tersenyum sembari menyapa mereka berdua.

"Deo engga masuk lagi?"

Manda menggeleng pelan. "Engga."

Aster yang daritadi bingung kemana pembicaraan mereka, kini angkat bicara. "Deo siapa? gue engga pernah denger namanya. Eh, pernah sih. Tapi setau gue anak kelas sebelas engga ada yang namanya Deo."

Moonbeam Where stories live. Discover now