Setelah seharian lembur memilah-milah desain yang dikirimkan para peserta lomba desain yang diadakan olehnya demi merekrut anggota baru, akhir harinya kemudian ditutupi pertemuannya dengan Tirtan di parkiran tadi. Ia berharap bajingan itu lenyap saja tentunya, setelah tahu ternyata setelah dua bulan lebih bertunangan dengan dirinya Tirtan ternyata masih memiliki perempuan lain.

Well, seharusnya ia tak perlu memusingkan hal itu. Namun hati kecilnya dan harga dirinya sebagai wanita seolah-olah terinjak. Menyebalkan!

Diputuskannya menelpon Enggar untuk meredakan kegilaannya ini, selama ini suara Enggar mampu mencerahkan hari Lana.

"Gar, aku lagi sebel. Kamu dimana sih? Kapan balik kemari? Kangen tau..." Lana langsung mengungkapkan isi hatinya begitu mendengar indikasi panggilannya diangkat.

Setelah menunggu beberapa saat tak terdengar suara apapun dari seberang sana. "Gar... Hellow, kamu denger gak sih?" Lana menatap kearah layar smartphonenya demi dilihatnya sinyal yang penuh tanpa kurang satupun garisnya.

Kembali ditempelkannya smartphonenya dan memanggil nama orang yang dirindukanya itu. "Enggar?"

Akhirnya terdengar suara gemerisik dari seberang sana. "Sebentar, saya panggilkan Enggar dulu. Dia lagi di kamar mandi." Suara lembut wanita yang menjawabnya. Bagaikan copot jantungnya, cepat Lana menutup flipcover smartphonenya dan melempar benda itu ke atas pantry seolah-olah benda itu membakar tangannya.

Ditutupnya mulutnya yang terkesiap dengan sebelah tangannya sementara tangan lain mengepal erat disisi tubuhnya. Lututnya seolah tak bertulang, ia terduduk di lantai dapurnya. Beruntung saat ini nyaris pukul sebelas malam sehingga tak ada yang melihatnya lemas tak berdaya seperti ini.

Pikirannya menjadi tumpul, air mata yang tumpah keluar tak sanggup dihentikannya. Digigitnya kepalan tangannya demi membungkam suara isakan yang pecah dari mulutnya. Entah berapa lama ia berusaha membungkam tangisannya ia kemudian dihentakkan  dengan deringan nada smartphonenya.

Dengan mengerahkan seluruh kekuatannya ia meraih benda berdering tersebut dan menjawab panggilan tersebut. Ditariknya napas dalam-dalam dan akhirnya berhasil mengeluarkan sapaan pendek. "Halo?"

"Lana? Tadi nelpon? Aku tadi lagi dikamar mandi. Ada apa?" Suara diseberang sana sangat dirinduinya sekaligus sanggup mengiris hatinya dengan irisan setipis mungkin.

Lana berusaha menelan isakan yang nyaris keluar dari mulutnya. "Gak ada apa-apa. Cuma iseng aja."

"Dasar. Ya sudah, aku mau lanjut dulu. Ada tamu soalnya." Suara Enggar tetap terdengar ceria seperti biasa.

"Oke. Bye." Lana mengucapkannya dengan susah payah. Walaupun hati kecilnya ingin meneriakkan pertanyaan-pertanyaan yang ia takkan mampu ia lontarkan keluar dari mulutnya. Beribu pertanyaan yang terlintas berhamburan bertubrukan dibenaknya bagaikan teori bigbang yang menghancurkan otaknya menjadi serpihan debu.

"Bye." Suara diujung sana seakan meniupkan serpihan debu itu beterbangan, terpisah tanpa dapat di perbaiki lagi.

Begitu terdengar bunyi klik, Lana kembali terisak. Sesak, sedih. Inikah saatnya ia harus menyerah? Mengapa setelah semua waktu yang telah berlalu ia tetap tak dapat melepasnya? Kapankah dirinya bisa tersenyum dengan ikhlas tanpa mengharapkan apapun pada Enggar? Semua kejadian diparkiran tadi terlupakan. Yang tersisa hanyalah rasa pekat hitam yang menodai pikiran dan hatinya. Tak lagi berwarna selain hitam.

Entah bagaimana ia dapat tiba dikamarnya. Mendekam semalaman dalam kepekatan hitam. Tak ada rasa yang terlintas dibenaknya selain hitam, hampa. Lana tertidur dalam hitam. Hitam yang mengelamkan malam itu.

It's a Life Disaster!Where stories live. Discover now