10. Sindrom Pra-Nikah

25.7K 899 43
                                    

Hai, penulis abal-abal balik lagi. :)
Selamat membaca. Komen, kritik, saran dan vote tetap dinanti... :)

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Uring-uringan merupakan hal yang paling sering dilakukan Lana seminggu terakhir ini. Mulanya orangtua mereka memutuskan pernikahan mereka diadakan dua minggu sejak mereka ke-gap, tapi karena masalah ribetnya pernikahan akhirnya mereka semua sepakat pernikahan dilakukan sebulan lagi.

Jadwal acaranya sudah ditentukan, pemilihan wedding organizer juga sudah, pemilihan undangan, souvenir, menu hidangan, gedung dan sebagainya juga sudah nyaris fix, dan tanpa terasa waktu tiga minggu pun sudah berlalu. Dua hari lagi jadwal pingitan Lana sudah berlaku. Pingitan yang seharusnya satu minggu berhasil didiskon Lana hanya menjadi lima hari.

"Mama, bisa cepetan nggak? Lana ada meeting jam 3 ntar." Lana menghentikan langkahnya yang bolak-balik mengitari ruang tamu keluarga mereka.

Mamanya terburu-buru menuruni tangga. "Iya, iya. Lagian kenapa mesti meeting sih? Seharusnya kamu sudah cuti, Lana."

"Nanggung, Ma. Dikit lagi proyek bulan ini beres, Mam. Lana cuman mau rapat penentuan bahan-bahan yang akan digunakan aja. Setelah itu Lana baru bisa cuti dengan tenang."

"Iya-iya. Mama ngerti deh, wanita karir memang gitu. Sudah mau nikah aja yang dipikirkan cuman kerja melulu." Mamanya masih sibuk memeriksa isi tas tangannya.

"Nah, tuh Mama ngerti. Ya sudah, ayo buruan." Lana mengambil alih tas tangan itu dan menarik tangan mamanya kearah mobil sedari tadi telah yang siap sedia mengantar mereka.

***

Mamanya memperhatikan Lana yang tengah terbalut kebaya berwarna krem keemasan. "Kayaknya kamu kurusan, deh." Mamanya meraih bagian pinggang kebaya tersebut dan menjepit kelebihan kainnya, "Ini nih, kebayanya aja jadi longgar gini."

"Ya sudah, itu gunanya fitting kan? Tapi kebayanya gak usah dikecilin deh, Mam. Soalnya nanti saat dipingit Lana pasti jadi gendutan."

Mamanya akhirnya setuju segala pengaturan Lana.

Lana merapikan pakaiannya kembali. "Sudah beres kan Ma? Lana sudah mau jalan ke kekantor nih."

"Nah, loh, itukan baru kebaya. Gaun putihnya belum difitting, Lana..." Protes mamanya tak setuju.

"Minggu lalu kan sudah nentuin model dan ukuran, Ma. Kalo ukurannya ternyata beda, yah disamain sama ukuran kebayanya aja, Ma." Putus Lana enteng.

"Gak bisa, Lana." Mamanya masih bersikeras.

"Bisa, Mama sayang..."

"Ih, Mama gak mau ngenter kamu ke kantor kalau begitu. Biar telat aja sekalian kamu." Mamanya mengerucutkan bibirnya tanda ngambek.

"Mama tega yah sama anak sendiri juga?"

"Biarin. Kamu dibilangin gak mau nurut sih." Cibir mamanya.

"Tak apa sih, Ma. Aku tadi sudah nelpon Tirtan minta jemput. Soalnya aku tahu mama pasti gak mau nganter." Lana tersenyum manis sekali.

"Kamu tidak boleh ketemu Tirtan! Kan kamu dipingit."

"Ya ampun Mama. Aku kan dipingitnya nanti lusa. Sekarang masih boleh aja tuh ketemu Tirtan." Lana memandang kearah belakang mamanya yang tengah berdiri, memandang kearah pintu masuk. Sosok itu ternyata sudah sampai.

"Mama, Lana." Suara Tirtan terdengar menyapa tiba-tiba.

"Nah, ini dia sudah datang. Lana pergi dulu yah, Ma." Secepat kilat Lana mengecup pipi mamanya dan menggamit lengan Tirtan keluar dari tempat tersebut. Tirtan bingung dan hanya menoleh berpamitan singkat pada Bu Kiran. "Kami berangkat dulu, Ma."

It's a Life Disaster!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang