1

3.6K 103 10
                                    

IA terbangun dengan pisau tertodong pada leher. Tubuhnya gemetar, netra safir mengerjap cepat, berusaha menilik sedikit sosok yang kini berdiri di sisi ranjangnya. Siapa? Alis bertaut penuh konsentrasi. Peluh bergulir macam air terjun, bikin sensasi menggelitik di leher. Dari sudut mata, dengan pandang sembunyi-sembunyi, ia menilik raut wajah orang itu. Meneguk ludah kala bersitatap dengan sepasang netra lavender cerah tanpa emosi. Ia tidak bisa melihat wajahnya. Tertutup masker legam yang membekap sampai pangkal hidung.

"Aku tidak mengenalmu." Lirihnya, mengangkat tangan ketika bilah pisau mengiris kulit leher. Menumpahkan darah.   Naruto tidak menyangka akan terdengar begitu tenang, menghianati badai berkecamuk dalam benak. Bertolak belakang dengan lidah yang terasa kelu.

Yang tidak ia duga, adalah bagaimana orang itu meremas erat gagang pisau. Suaranya lembut, rendah, terlantun dalam gelap. "Mungkin sebuah tikaman di perut akan membuatmu ingat."

Naruto tertawa hambar, berupaya mencari cela dalam posisi orang itu. Nihil. Tangannya lembap oleh peluh. Jantung berdegup seolah tahanan minta dibebaskan. Darah berdesir dingin dalam pembuluh. Dalam hati bersikeras menerka siapa gerangan orang di hadapannya. Karena Naruto tidak ingat pernah berurusan dengan kriminal secara personal, atau melakukan hal yang bikin mereka marah. Mengabaikan denyut di areal kepala, Naruto meneguk ludah. "Oh ya? Lalu kenapa belum kau lakukan?"

Orang itu mengernyit. Tidak lolos dari pengamatan Naruto.

"Kau menginginkan sesuatu. Yang tidak bisa kau dapat bila aku mati." Kala mata orang itu memincing, Naruto tahu kalau ucapannya tepat—atau setidaknya dekat—dengan fakta sesungguhnya. Memberanikan diri, lelaki pirang dalam kondisi terdesak memutuskan bermain dengan api. Toh, bagaimanapun juga nyawanya tetap dalam bahaya.

Menarik napas dalam, Uzumaki Naruto, untuk pertama kali dalam hidupnya menyesal telah menolak pembelajaran dari Mitarashi Anko. Wanita sadis penghuni rumah tahanan kolosal Konoha yang beberapa bulan lalu sempat menawarinya cara mengulik informasi secara efisien. Kalau dia hidup setelah ini, mungkin akan didatanginya wanita itu dengan seboks penuh dango sambil memohon pengarahannya dalam seni introgasi. "Apakah seseorang dari keluargamu tertangkap olehku? Atau terbunuh?" Naruto melanjutkan. Menjilat bibir kering, lamat-lamat meminum pemandangan wajah orang itu. Yang pernapasannya mulai berat. Tepat sasaran.

"Siapa? Ibu? Ayah? Kakak? Atau," Naruto menjeda. Matanya berkilat kala gigi orang bermasker di hadapannya bergemeletuk. Perlahan, ia bangkit, berlagak kasual. Persetan dengan todongan pisau di leher. Persetan dengan kaki gemetar dan peluh yang menelusuri lekuk tulang belakang. Ia berdiri, menatap siluet figur yang ternyata lebih pendek darinya. "Adikmu?"

Orang itu menggeram. Dan baru kali ini ia sadar, penyerangnya tak bukan adalah seorang wanita. Kedua mata beriris biru membola kala pisau dalam genggaman penyerangnya dihunus tanpa ampun. Dugaannya benar! Walau cuma terka tanpa dasar, entah bagaimana Naruto bisa menembak tepat sasaran. Ia, dengan refleks semata, menepis tangan si penyerang. Kaki dibuka selebar pundak sementara si penyerang melayangkan tinju penuh tenaga ke wajahnya. Meliuk, Naruto menghindar. Dengan cepat naik ke atas ranjang dan melompat turun, menerjang menuju pintu. Gawat. Ia harus kabur.

Tapi kapan takdir pernah berpihak padanya? Si penyerang, cuma dalam hitungan detik sudah ada di belakangnya. Menendang kaki Naruto. Keras. Bikin pria bermarga Uzumaki jatuh dengan seuntai kutuk lolos dari bibir. "Sial!" Tubuhnya berdebam keras menyeruduk lantai keramik. Belum sempat bangkit, penyerangnya menindih Naruto. Dengan lutut menekan perutnya.

Naabot mo na ang dulo ng mga na-publish na parte.

⏰ Huling update: Feb 16, 2020 ⏰

Idagdag ang kuwentong ito sa iyong Library para ma-notify tungkol sa mga bagong parte!

RefrainTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon