Naruto mendorong. Menarik lengan si penyerang ke sisi, bikin orang itu oleng. Dengan segenap tenaga, Naruto merenggut  pisau dari tangan si penyerang, menebas pada lengan orang itu. Siap menerjang lagi kala sakit menjalar di rahangnya. Orang itu menyikut Naruto, terlalu cepat untuk dilihat. Pusing menjalar di kepala. Bangkit dengan langkah mabuk, pria pirang melangkah mundur. Napasnya habis. Ruangan serasa berputar sementara penyerangnya berdiri anggun tanpa luka.

Dari pandang buram, ia cuma bisa menatap bagaimana si penyerang melayangkan tinju. Tidak sempat bereaksi kala kepalan tangan itu berkontak dengan perutnya dalam kecepatan penuh. Naruto terempas mundur, pinggangnya terantuk nakas, menjatuhkan botol birnya sisa semalam dengan bunyi nyaring. Pecahannya bercecer sekitar tubuhnya.

Sekali lagi, Naruto bisa merasakan bilah pisau mengancam tepat semili dari leher. Dan untuk pertama kali di malam itu, ia dapat menatap wajah penyerangnya jelas. Telusup sinar bulan lewat sesekat jendela sebelah ranjang jatuh pada sosok di hadapannya, menegaskan sepasang lavender yang menatap intens ke arahnya. Untuk pertama kali dalam malam itu pula, Naruto, merasakan tarikan aneh dalam dada. Yang menjeritkan seutas kalimat. "Apa aku mengenalmu?"

Hal terakhir yang dapat dilihat Naruto adalah bagaimana kedua netra lavender membola. Penuh kejut. Sebelum pintunya didobrak terbuka, lepas dari engselnya. Di mulut pintu berdiri tiga sosok tegap berseragam biru rapi, menodongkan pistol. "Diam di tempat!"

Tapi si penyerang tak mendengar. Ia sudah berdiri, berlari zigzag menghindari peluru, menerjang menuju jendela. Genma Shiranui, masih mengulum jarumnya, mengejar. Sementara dua rekannya, Izumo dan Kotetsu, menghampiri Naruto. Tembakan dilepas, menghujam penyerangnya yang baru saja lompat ke luar jendela. Dari posisinya, Naruto bisa mendengar Genma mengumpat marah. Alis pria itu berkedut kala memasukkan pistol ke balik saku.

"Maaf terlambat, tuan."

Naruto cuma bisa mengangguk. Malam yang panjang, pikirnya. Melirik kalung kecil dalam genggaman. Yang terjatuh dari leher si penyerang dalam perkelahian tadi.  Siapq sebenarnya gadis itu? Untuk kesekian kalinya, ia bertanya. Tanpa jawaban.

***

Reaksi Sasuke kala pertama kali melihat Naruto, pagi itu, dengan lebam di sekitar rahangnya adalah tertawa. Tawa merendahkan yang sudah dikenal persis dari rivalnya. Mata gelap pria itu menekuk jenaka, rambut hitam berpotongan aneh disisir dengan jemari sementara pekerjaan di meja terabai sejenak. Naruto mengumpat, menarik kursinya tepat di sebrang penerus keluarga Uchiha seraya berdecak kasar. Kakinya sakit. Kepalanya sakit. Rahangnya sakit. Tubuhnya sakit. Dan hal yang paling diinginkannya sekarang ini adalah melayangkan bogem mentah ke wajah aristokratis Sasuke yang menyebalkan.

"Jadi, siapa yang bisa meninggalkan memar di wajah Letnan Kolonel Uzumaki yang katanya super mengagumkan?" Sasuke menyandarkan dagu pada kepal tangan. "Aku tidak menyangka kau punya fetish macam itu, Pecundang."

Debam keras melanda ruangan bukan karena tempramen Naruto yang biasanya melunjak. Pagi ini, si pirang tampak lesu membenturkan kepala pada mejanya. Bikin rivalnya angkat sebelah alis. "Diamlah, Brengsek. Aku terlalu lelah untuk menanggapi candamu yang tidak lucu."

Respon Naruto, seperti bensin pada kobaran api, malah memancing ejekan lain dari Uchiha muda yang kini berkilat jahil matanya. Sambil memutar pena di tangan, pria berambut hitam mendengus. "Oh? Kegiatanmu semalam benar-benar menguras tenaga, ya?"

Sumbu Naruto terbakar habis. Sisa kesabarannya menguap macam alkohol pada paparan udara. Letnan kolonel muda menggebrak meja. Menggeram dengan mata menyalak garang. "Brengsek!" Secepat kilat, ia berdiri di depan meja Sasuke yang ada di seberang ruangan. Menarik kerah pria bersurai hitam yang tidak menunjukkan ekspresi berarti. "Asal kau tahu, tamuku semalam  adalah pembunuh bayaran."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 16, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

RefrainWhere stories live. Discover now