1

510 32 2
                                    

Kepalaku sakit, suaraku tercekat. Tenagaku kalah jauh dibanding wanita bertubuh gumpal yang kini tangan kirinya mencekik leherku, dan tangan kanannya menjambak rambutku. Aku kalah jumlah. Kalah tenaga.

"Anjing!" Umpatnya padaku. 'Mereka' pergi dengan kendaraan roda dua. Meninggalkan aku yang terduduk di pinggir jalan. Seragam putih abu-abu yang kupakai sudah tidak berbentuk lagi. Mataku memanas. Tanganku mengepal. Seandainya aku diberi kesempatan untuk balas dendam, aku bersumpah akan mengikat kedua kakinya dan menggantungnya terbalik. Dan aku akan menangis, menangis bahagia sembari menyibukkan kedua tanganku merobek lehernya dengan gunting dan menarik ulur lidahnya.

* * *

Kakiku melangkah menuju ruangan yang terletak di ujung koridor. Disana aku akan menuntut ilmu. Salah satu ruangan dari sekian ruang belajar di sekolah tinggi tempatku menimba ilmu ini.

Kaki itu..

Ku angkat wajahku agar bisa melihat si pemilik kaki jenjang yang berdiri dua meter di depanku. Ia menatapku. Manik hitamnya seolah memberiku isyarat untuk mengikutinya.

Dari belakang, aku mengekorinya. Dari belakang aku bisa melihat bahunya yang lebar. Ototnya tampak tercetak jelas dari balik kemeja putihnya. Bisa kubayangkan, lelaki berusia dua puluh tujuh tahun itu memiliki tubuh yang sixpack.

Kini aku sudah berada di ruang guru. Dia masih diam. Memberi sorot mata tajam sembari mengetuk-ngetuk ujung pensil pada meja di depan kami.

"Kamu tidak mau bicara?" Mendekatkan wajahnya padaku yang masih tertunduk diam di depannya.

Dia kembali keposisi duduknya. melipat kedua tangannya di dada.

"Alraya Masayu, usia dua puluh empat tahun. Pelajar tahun ketiga. Ini bukan pertama kalinya saya melihat kamu datang kesekolah dengan wajah penuh memar. Dengan tangan penuh perban. Katakan, kali ini siapa yang membuat kamu terlihat seperti gembel di jalanan kemarin. Dan terlihat seperti bajingan pencuri sehabis di hajar masa saat pergi sekolah."

Kuangkat pelan wajahku. Kuusahakan manik cokelatku agar tidak berlinang air mata saat menatap manik hitamnya. Dia tahu. Dia tahu beberapa hal tentangku. Karena dia wali kelasku. Dia tahu tentang aku yang sedari Sekolah Menengah Pertama selalu tertinggal satu tahun, hingga usiaku jauh lebih tua di banding teman sekelasku. Tunggu sebentar, apa tadi aku menyebut kata teman? tidak kusangka kalimat itu masih ada.

"Ini bukan apa-apa kok pak. Saya hanya dijambak, dicekik, dihina, dimaki, dicaci, didorong, apa lagi ya, hmmm... hanya itu. Gak lebih. Bukan masalah, selama saya gak terbunuh." Aku masih menatapnya datar. Wajahku seolah mengatakan, 'tidak terjadi apapun padaku kemarin, dan jangan cemaskan aku'.

"Beberapa bulan yang lalu, saat saya baru masuk ke sekolah ini sebagai wali kelas kamu, sepulang sekolah saya melihat kamu membenahi seragammu di kamar mandi sekolah. Sementara wajah dan rambut kamu sudah tidak berbentuk. Ada berapa, Berapa orang musuh kamu di sekolah ini? Apa yang meraka cari dari kamu? Apa yang membuat mereka menyimpan dendam terhadap kamu?"

Pertanyaan beruntun yang dia lontarkan terasa seperti mengaduk pikiranku. Mulutku terbuka, bersiap menjawab. Tapi dia mendadak berdiri. Berjalan ke arahku. Dia duduk di kursi yang ada di sampingku. Memutar kursi yang kududuki agar aku bisa berhadapan dengannya. Kami tidak perlu cemas untuk dilihat oleh guru lainnya. Karena kini jam pelajaran sedang berlangsung., semua guru sibuk melakukan baktinya sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.

Hanya kami berdua di dalam ruangan besar ini.

"Saya pernah menemukan kamu terduduk di pinggir jalan dengan tubuh penuh luka, dan itu tidak terjadi satu kali. Sebaiknya kamu cerita ke saya." Wajahnya tampak serius, Matanya mengandung luka. Ada apa ini? siapa aku baginya, sehingga dia terlihat secemas dan seperhatian ini?

Hah.. benar. Dia wali kelasku. Guruku berarti orang tua di sekolah.

"Jadi karena saya sering bapak temukan dipinggir jalan dengan tubuh terluka, bapak berhak mengasihani saya seperti anak kucing terlantar? atau, seperti wanita dipinggir jalan yang butuh bantuan orang lain untuk menemukan jalan pulang?." Aku mencicit.

"Bapak gak perlu mencoba mengatasi masalah saya. Karena gak semua orang dewasa bisa menyelasaikan masalah remaja seperti saya, dan gak semua orang tua itu dewasa."

Dapat kulihat matanya menyipit. Dia kembbali berdiri.

"Tapi bagaimana ini Ay..." Dia menyingkat namaku diujung kalimatnya yang terpenggal.

"Kamu bukan remaja lagi. Dan kamu orang tua yang belum dewasa itu. Jika kamu sudah menikah, mungkin kamu sudah punya anak berusia tiga tahun. Saya hanya mencoba membantu." Dia beranjak dari depanku, kembali duduk di singgasananya.

"Kembalilah kekelas Ay. Pastikan tahun ini kamu lulus. Ini sudah tahun ke dua kamu menjadi murid kelas tiga SMA"

* * *

Cahaya bulan membantu wanita yang melihat jalan dari balik kaca mobil tanpa plat nomor. "Tidak boleh ada yang mengetahui identitasku." Ucapnya lembut. Ia menutup mata dengan sunglass. Membekap separuh wajahnya dengan masker hitam.

Beberapa menit ia menunggu. Wanita bertubuh gumpal yang akan menyebrang itu sasarannya. Tanpa lampu sen yang menyala, wanita itu melajukan mobilnya dengan kencang. Mengajak wanita bertubuh gumpal itu bermain dengan maut.

....

....

....

....

Cairan merah mengalir dari lubang hidung dan telinga wanita bertubuh gumpal yang kini tergeletak di aspal.

Wanita dari dalam mobil hitam yang tadi melajukan mobilnya dengan kencang, perlahan melambatkan kecepatannya. Ia membuka masker hitamnya. Memperlihatkan deretan gigi putihnya. Senyumnya mengembang. Puas batinnya.

"Melakukan dendam itu penting. Karena sesuatu yang terpendam, pasti akan membusuk. Busuk itu jelek. Jadi lakukan apapun demi dendam."

* * *







Mohon maaf atas notif mengganggu yang di sebabkan oleh cerita ini.
Aku lagi mencoba merevisi beberapa part setelah itu baru melanjutkan cerita.
Penulis bukan apa-apa tanpa pembacanya.
Monggo klik bintang dan ramaikan cerita ini dengan komen ya...
Aku suka kalo baca komen dari kalian. Itu bisa membantu merevisi penulis dari kesalahan yang dia buat dalam ceritanya.
Terimakasih.
#Yu

My SosiopatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang