0. Prolog

284 11 1
                                    


"Oh ya? Eheem, Selly? Ada? Oh, hai Selly!" Seorang perempuan berambut pendek sebahu sedang asyik menatap ponselnya. Ia duduk di kursi panjang sendirian. Koper tosca berukuran 24 inch dengan pattern yang khas berdiri didepannya. Pada ponselnya, ia sedang terhubung dengan teman-temannya melalui panggilan video.

"Luna! Maaf ya aku nggak bisa anter kamu" ujar seseorang diseberang sana. Perempuan itu, yang bernama Luna, lantas tertawa ringan. Matanya ikut menyipit ketika tulang pipinya terangkat keatas. 

"Iya Sell, aku juga berangkatnya dari Jakarta, kan. Kasihan kalian kalau harus dari Surabaya kesini" ujar Luna setelah sebelumnya menyematkan helaian rambut yang jatuh menggantung di pipi ke belakang telinga.

Seseorang diujung sambungan menampilkan wajah merengut ketika ada seorang lain yang menggeser tempatnya selagi berbicara dengan Luna. Keributan kecil bisa terdengar oleh telinga Luna, lagi-lagi ia tertawa.

"Terus-terus, jadinya diantar siapa,nih?" Ada nada usil ketika pertanyaan itu terlontar, didukung wajah mereka dilayar yang menampakkan kejahilan. Luna menghentikan tawanya, seketika ia memasang wajah terusik, hanya pura-pura saja.

"Ew! Sendirian, dong! Mas Abi juga nggak bisa antar, apalagi Amma atau Appa."

Abi adalah kakak kandung Luna. Sedangkan Amma adalah panggilan Luna dan Abi kepada mamanya dan Appa adalah panggilan kepada papanya.

"Sedih, sih." Imbuhnya.

"Ya ampun Luna~. Tahu gitu kita bakal ambil cuti aja, ya nggak Ry? Kamu sih, bilang ke kita baru tiga hari yang lalu. Jahat." Seseorang disebelah Selly, yang pada layar hanya tampak separuh wajahnya, mengangguk-mengiyakan perkataan Selly.

Lagi, Luna tertawa. "Alaaah, maka dari itu aku kasih kabar ke kalian baru tiga hari lalu. Nanti kalian pasti bakal berbondong-bondong satu kampung diajak ke bandara. Bikin malu!" Ucap Luna dengan nada bercanda.

"Udaaah, tadi pas ke Soetta diantar temen kuliahku juga,kok. Tapi sekarang dia udah pergi"

"Temen? Apa demen? Hahaha" tawa yang keras terdengar dari speaker ponselnya, sehingga Luna buru-buru menutup speaker itu lalu mengecilkan volume panggilan.

Ia berdesis pada teman-temannya diujung sana, sembari menengok kanan dan kiri, takut-takut menganggu orang disekitarnya.

"Ssst, apaan, beneran temen. Cewek, kok." Untung tidak banyak orang didekatnya. Hanya satu orang yang duduk empat baris di depannya dan dua orang tiga baris di belakang.

"Eh iya, aku mau telepon Yola dulu. Bentar lagi udah mau berangkat,nih. Aku tutup ya? Nanti pas udah mendarat kita teleponan lagi. Bikin panggilan grup aja, gimana?" Usul Luna pada teman-temannya. Yang diujung telepon tampak memberengut. Sedih percakapan harus diakhiri. Namun ide yang ditawarkan Luna sedikit membantu mereka untuk kembali mengangkat senyum.

"Oke! Asyik,tuh! Tapi janji, ya?"

"Iya, janji" Luna tertawa.

"Kita kangen banget tau! Selama empat tahun cuma bisa ketemu setahun dua kali! Eh, sekarang malah kayaknya dua tahun nggak bakal bisa ketemu lagi."

Luna tertawa, namun hatinya berekspresi sebaliknya. Lalu sambungan terputus setelah Luna mengucapkan salam perpisahan. Ia menarik nafas sebentar, berpikir-pikir apakah menelepon Yola saat ini adalah waktu yang tepat. Jika Selly dan Cory saja sudah begitu heboh, apalagi Yola.

Sebenarnya, kepergiannya ini tidak dimaksudkan untuk dirahasiakan. Bahkan sudah setahun yang lalu ia bercerita kepada teman-temannya bahwa ia mengajukan beasiswa S2 dengan negara destinasi Belanda. Namun nampaknya waktu satu tahun yang diisi dengan berbagai kegiatan yang menyibukkan masing-masing membuat perkataan Luna menjadi sedikit terlupakan. Apalagi Luna tidak pernah membahasnya lagi dan justru memberi kabar-kabar lain, seperti dimana akhirnya ia bekerja.

LALUNA || High School CrushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang