"Ada yang mau ketemu sama kamu," katanya sambil tersenyum sayang.

"Oh?"

"Dia ada di luar, nunggu kamu."

"Siapa Kak?" Aku mengerutkan kening, siapa yang ingin bertemu denganku? Seingatku, kecuali dokter dan perawat yang merawatku, hanya Kak Arka dan Papi yang tau aku di sini. Apakah Kak Arka membawa temannya kemari?

"Nanti juga kamu tau." Kak Arka membawaku ke teras belakang tempatku menghabiskan hampir seluruh waktuku.

Jantungku melompat keluar, mataku melebar, badanku menegang terkejut melihat siapa 'seseorang' yang ingin menemuiku ini. Aku tidak menyangka dia yang akan berdiri di sana. Wajahnya terlihat kusut, ada bayangan hitam di bawah matanya. Badannya juga lebih kurus. Dadaku bergemuruh oleh amarah. Kenapa kak Arka membiarkannya mengetahui keberadaannku? Aku sungguh sedih, marah dan kecewa pada kak Arka atau siapa pun yang memberitahunya di mana aku tinggal sekarang. Bohong jika aku tak merindukannya, tapi untuk saat ini aku tidak ingin dia tau keadaanku sekarang. Tidak sampai aku benar-benar pulih. Atau sampai aku siap bertemu dengannya lagi.

Aku menatap bingun pada kak Arka, menuntut penjelasan.  Kemudian dia berbisik, "Sudah saatnya kalian bicara, Sayang. Kakak ada di ruang keluarga, panggil kakak kalau kamu butuh kakak." Sebelum meninggalkanku berdua dengan 'tamuku', kak Arka meremas pundakku seolah memberi kekuatan padaku.

Dia berjalan pelan ke arahku. Tatapannya tak pernah lepas dariku. Buru-buru aku menundukkan kepala, memutuskan kontak mata dengannya. Jantungku semakin berpacu saat dia mulai menghapus jarak. Aku tidak ingin dia mendekat, tapi aku juga tidak ingin dia pergi. Takut, malu, bingung. Entahlah. Seandainya aku bisa berlari, aku akan berlari menghindar darinya. Ya Allah, asu sungguh belum siap bertemu lagi dengannya.

Dia berdiri beberapa langkah di hadapnku. Dari jarak ini aku sudah bisa mencium wangi tubuhnya. Aroma yang selalu aku ingat. Tuhan, aku rindu dia. Aku merasakan hawa dingin mulai menyergapku, membuat tubuhku menggigil. Sebisa mungkin aku menahan air mata yang menggenang di pelupuk mata. Dan dengan degup jantung yang bertalu-talu, semakin membuat kepalaku pening.

"Asa."

Suara itu! Suara yang selalu hadir di mimpiku, suara yang sangat kurindukan. Suara yang dulu selalu membuatku tenang. Tersentak, aku merasakan sentuhan di tanganku.

"Maafin aku, Cupcake. Maafin aku." Entah sejak kapan dia sudah berlutut mensejajarkan wajahnya denganku. Detik itu juga pertahananku runtuh saat aku rasakan tangannya merengkuhku dalam dekapan.

Menit-menit berlalu tanpa sepatah katapun terucap. Kami hanya saling berpelukan dan menangis bersama, melepas rindu, menebus waktu-waktu yang telah berlalu. Rasanya begitu tepat berada dalam pelukannya. Semua kekawatiran dan ketakutan yang menghantuiku beberapa waktu lalu seperti tak pernah ada. Embun pagiku kembali padaku.

***

 "Aku benar-benar menyesal, sudah membuatmu menderita selama ini," kata Evan tiba-tiba saat kami tengah menikmati sore di taman belakang rumahku. "Aku memang bodoh mengira bisa membalas perbuatan mereka lewat kamu. Padahal aku tahu, itu bukan salahmu dan bahkan kamu enggak tahu kejadian itu sama sekali. Aku juga yang salah sampai buat kamu seperti sekarang."

Tak tega melihatnya menyalahkan diri sendiri, kugenggam tangannya dan mencoba membesarkan hatinya. "Sudahlah, Van, semua toh sudah lama berlalu. Aku enggak pernah marah sama kamu. Mungkin kalau aku atau kak Arka jadi kamu, kami akan melakukan hal yang sama."

Aku sempat terkejut mengetahui alasan Evan berubah menjadi Evan yang membenciku beberapa tahun lalu. Aku tidak pernah tahu bahwa lama sebelum Mami bertemu Papi, Mami adalah kekasih Oom Berto, Papa Evan. Menurut cerita Papi, sebenarnya saat itu Mami dan Oom Berto tidak bermesraan seperti yang Evan kira. Tapi Evan tidak mau mendengarkan penjelasan dari Oom Berto, jadilah dia tumbuh dengan kesalahpahaman itu.

"Trimakasih, Sayang. Tapi seandainya aku mau mendengar penjelasn mereka, atau seandainya aku bisa berfikir sedikit lebih terbuka, kamu enggak akan menderita seperti sekarang."

"Waktu itu kamu hanya anak umur 13 tahun, Evan. Aku juga akan melakukan hal yang sama kalau aku ada di posisimu saat itu. Yang penting sekarang, kamu kembali seperti Evanku yang dulu. Cukup kamu ada di sini nemenin aku kayak dulu, sudah bikin aku bahagia. Kamu tahu, kamu yang jadi semangat aku untuk sembuh selama ini."

Itu saja, cukup dia di sini menemaniku, memberiku semangat untuk hidup. Seandainya aku tak bisa berjalan lagi, tak akan membuatku takut menghadapi hidup asalkan Evan, Kak Arka dan Papi tetap mau mendukung dan menyayangiku apa adanya.

Bagai tetes embun pagi

Sejuk dihatiKau hapuskan sepi

Cinta terikat di hati

Janji terpatriJadi makna berarti

Biarkan dunia ini

Menghamburkan senyum

Untuk kita...

Tuk' kita berdua

Betapa sucinya kasihmu

Yang mampu bersihkan jiwaku

Dari nista dan dosa

Yang ada di dunia ini

Sering kau ciptakan bahagia

Sering kau musnahkan nestapa

Hanya dirimu yang menggugah Isi sanubariku

(Tetes Embun - Glenn Fredly)

END

Semarang, 7 April 2014

Terima kasih sudah membaca...

With love,

-dc-

Cerita Cinta KitaOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz