Cepat bangun sayang, demi Aluna

334 16 0
                                    


Masih dengan pakaian kerjanya,'kemeja lengan panjang putih bergaris tipis dan celana slimfit hitam, Caraka menggendong Aluna. Tubuhnya terlihat lebih kurus, wajahnya pun terlihat lelah dan lebih tirus.

Hari ini Caraka pulang agak larut, ada klien yang memerlukan penanganan darurat darinya. Bercanda dengan Aluna yang mulai mengoceh 'tatata' 'bababa' seakan menghilangkan lelahnya. Senyum selalu tampak dibibir tipisnya, dan binar bahagia terlihat dimatanya jika bersama sang buah hati.

Annisa mendekat dan duduk disamping Caraka. Sejenak memperhatikan interaksi ayah dan anak itu. Hatinya pilu melihat nasib anak dan cucunya yang menunggu dalam ketidakpastian.

"Mas... " panggil Annisa, menepuk pundak Raka pelan.

"Hmm... " jawabnya tanpa mengalihkan tatapan dari putrinya yang sedang tertawa.

"Kemarin jeng Nadira dan Salma kemari.."

"Hmm..." jawab Raka masih tidak menoleh ke arah mamanya.

"Mereka menanyakan tentang butiknya Raina.. Salma tidak sanggup memegang dua sekaligus.. dia minta kita mengutus satu orang untuk menggantikan Raina..." jelas Annisa.

"Terus?"

"Mas punya gambaran kira-kira siapa yang bisa dipercaya buat megang butik itu?"

Caraka menarik nafas dalam, kemudian menghembuskannya perlahan, lalu menoleh kearah Annisa duduk.

"Nanti aku coba pikirin ya ma.. besok kalo senggang aku mampir deh ke butik buat bicara sama Salma.." ucap Caraka sambil tersenyum menenangkan mamanya, lalu kembali bermain dengan Aluna.

"Ehh.. mas Raka baru pulang? " tegur Raisya yang baru keluar dari kamarnya. Rambutnya tampak basah, menandakan baru selesai mandi.

Caraka ternyenyum ke arah Rasya, lalu mengangguk.

"Princess aunty kok bangun lagi... diganggu papa ya boboknya.. " tegur Raisya pada Aluna yang dijawab tawa oleh Aluna karena kehadiran Raisya.

"Mau mandi mas? Biar kusiapkan air hangat"

"Boleh.."

"Teh hangat juga mau?" Tawar Raisya lagi.

"Boleh deh kalo ga repotin kamu... makasih ya.."

Annisa yang memperhatikan interaksi antara Raisya dan Caraka menarik nafas panjang. Hatinya semakin gundah melihat keadaan putranya. Harusnya saat ini Caraka masih dilayani oleh istrinya.

Sampai kapan keluarga Caraka harus merepotkan Raisya. Walaupun Raisya adalah adik dari Raina, tetapi Raisya punya kehidupan sendiri. Punya impian dan cita-cita yang ingin dikejarnya. Juga cinta.

Itu yang menambah pikiran Annisa. Kalau saja Caraka mau menikah lagi, maka hilang sebagian beban pikiran Annisa.

"Mas....." panggil Annisa ketika Caraka selesai mandi. Wajahnya terlihat lebih segar.

"Hmm.." balas Caraka sambil menyesap secangkir teh yang mulai dingin.

"Mas ga mau cari pendamping lagi? " tanya Annisa pada Caraka. Caraka tersedak minumannya kemudian menatap mamanya kaget.

"Ma...."

"Sampai kapan mas?"

"Aku bukan duda.. Aku optimis Raina sadar.. " jawab Caraka lugas. Baru kali ini dia melihat wajah sendu mamanya. Biasanya yang terlihat adalah wajah tegar yang mendukung saat ia goyah.

"Apa gak kasihan sama Aluna, mas?"

"Aluna baik-baik saja diasuh Raisya, ma.."

"Tapi Raisya bukan pengasuh.."

Kata-kata Annisa membungkam Caraka. Sulit diterima olehnya, tapi mamanya benar.

" Raisya punya kehidupan sendiri mas.. sampai kapan kita membebaninya dengan Aluna.. keadaan ini sudah merenggut cita-citanya jadi dosen.. apa kita tega membuat dia mengorbankan masa mudanya demi Aluna... "

Caraka tetap diam. Mencoba memahami kata-kata Annisa. Benarkah ia dan Aluna telah membebani Raisya?

Tapi untuk mencari pengganti Raina masih sangat sulit untuknya. Hatinya masih tertuju kepada istrinya yang terbaring tak berdaya di rumah sakit.

Apa yang harus aku lakukan... kenapa kembali menjadi sulit..

Cepat bangun sayang... aku mohon.. demi Aluna..

"Aku... aku.. belum bisa untuk saat ini ma. Katakanlah aku egois untuk saat ini.. aku akan minta maaf pada Raisya... tapi aku belum sanggup ma.. hati aku masih mengharapkan keajaiban datang pada Raina.." jawab Caraka lirih dan sendu.

"Mama harap pikirkan lagi mas... mama cuma bisa mendoakan yang terbaik untuk mas Raka, apapun keputusan mas pasti mama dukung.. pasti.."

"ya ma... terima kasih..."

Tanpa mereka sadari, di dalam kamar Raisya terisak dalam diam. Sambil menggigit bantal agar suara tangisnya tak terdengar keluar. Pedih dengan keadaan kakaknya, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa seandainya kakak iparnya memutuskan untuk mencari pengganti Raina.

Raisya sadar dia bukanlah siapa-siapa, untuk Caraka atau bahkan untuk Aluna. Raisya juga punya kehidupan sendiri yang terpisah dari Caraka dan Aluna. Cita-citanya menjadi dosen dan segera meneruskan progam masternya sudah kandas.

Janjinya pada Sakha Dewangga yang membuatnya bertahan. Janji yang masih diyakini, dipegang dan diharapkannya. Janji yang senantiasa terucap dalam setiap percakapan jarak jauh dengan Dewa. Janji yang akan dipenuhinya dalam kurun waktu delapan bulan lagi.

Ketika tiba saatnya ia memenuhi janjinya pada Dewa, sanggupkah ia berpisah dari Aluna?

Saat semuanya berakhir, dengan sadar atau tidak sadarnya Raina, Raisya menyadari bahwa yang harus dikorbankan adalah perasaannya.

****

Akhirnya satu part lagi selesai...

Mohon kritik dan sarannya...

Xie xie..

Ririn
1November15

MiseryWhere stories live. Discover now