***

"Kamu baik-baik saja?" Tanya Daffa saat jam makan siang tiba. Aku sebenarnya tahu kalau sejak tadi pagi dia mau bicara padaku tapi aku selalu berusaha menghindar, ada saja yang kukerjakan agar aku terlihat sibuk. Aku malu, sepertinya aku sudah tidak punya muka untuk bicara padanya. Apa yang kulakukan kemarin malam benar-benar sudah kelewat batas, apalagi karena ulahku dia dihadiahi bogem mentah dari Bang Yoga.

Melihatku diam saja sepertinya membuatnya kesal, lalu dengan seenaknya dia menarik lenganku dan menyeretku ke atas gedung meskipun aku sudah meronta-ronta dan memintanya untuk melepaskan tanganku.

"Apa-apaan sih kamu? Kenapa kamu bawa aku kesini?" Bentakku sambil menepis tangannya dengan keras.

Daffa terdiam, dia menatapku tajam dan itu membuatku risih "Kenapa kamu ngeliatin aku seperti itu?"

"Matamu bengkak lagi, kamu menangis semalaman? seperti yang sudah-sudah?"

"Bukan urusanmu!"

Dia tertawa "Lagi-lagi kamu bilang begitu, bukankah sudah pernah kubilang kalau aku tidak suka melihatmu menangis."

Mendengar ucapannya membuat perasaanku menghangat, aku ingat dia memang pernah mengucapkan itu. Entah apa alasannya, aku tak pernah menanyakannya walaupun aku penasaran akan hal itu. Aku tak mau mengambil kesimpulan apapun, itu haknya dan aku tidak berhak melarangnya.

"Abangmu terlihat marah sekali, kamu pasti dimarahi habis-habisan olehnya. Iya kan?"

Aku membuang pandanganku ke arah lain, tak mau dia melihat kesedihan yang langsung menderaku. Pagi tadi, Bang Yoga benar-benar tidak mengajakku bicara, tidak menyapa seperti biasanya, menatapku pun tidak. Ini jauh lebih buruk ketimbang sakit hatiku terhadap Resta, kalau saja waktu bisa diputar ulang kembali.

"Pasti sakit sekali kan?" Tanyaku tanpa melihat kearahnya, wajahnya hari ini terlihat jelek sekali. Memar biru hampir memenuhi wajahnya plus sudut bibir yang terluka.

"Apanya?" Tanyanya balik, aku yakin dia hanya pura-pura tak mengerti pertanyaanku.

Aku diam, tak mau menjelaskan lebih lanjut. Semakin aku banyak bicara, semakin aku tak bisa menahan airmata yang sudah berada diujung pelupuk mata.

"Hanya sakit sedikit, bukan masalah besar. Kamu ngga perlu khawatir, ini biasa diterima oleh pria yang tak bisa menahan nafsunya."

Nafsu?
Apa nafsu yang dimaksudnya adalah nafsunya saat menghajar Resta sampai babak belur atau nafsu saat dia membalas ciumanku, aku masih ingat dengan jelas kemarin malam dia melumat bibirku dengan begitu lembut dan itu sempat membuatku melayang. Apa itu artinya aku juga menikmati ciuman itu, ciuman yang awalnya hanya kumaksudkan untuk membalas rasa sakit hatiku terhadap Resta.

"Sepulang kantor nanti aku akan kerumahmu, menemui abangmu dan juga seluruh keluargamu."

Kepalaku refleks menoleh kerahnya, terkejut mendengar ucapannya barusan. Kerumahku? Untuk apa? Apa dia bermaksud untuk membuat Bang Yoga lebih marah lagi?

"Aku akan meminta maaf pada keluargamu atas kejadian kemarin malam." Jawabnya seakan mendengar apa yang ada di kepalaku.

Aku menggeleng "Ngga perlu, kamu ngga bersalah. Aku yang sudah menyeretmu dengan paksa ke dalam masalahku, justru akulah yang harusnya minta maaf. Karena aku, kamu kena pukulan abangku." Suaraku bergetar, tangis akhirnya tak bisa kutahan lagi. Banyak sekali hal yang memicu airmata ini untuk mengalir terus, jujur aku lelah dengan semua masalah yang menimpaku belakangan ini.

Daffa menepuk-nepuk bahuku, tak bicara apa-apa, hanya menjadi pendengar setia nyanyian senduku yang berupa isak tangis. Sebenarnya aku tak mau terlihat lemah seperti ini terlebih dihadapannya, tapi rasanya aku memang tak sanggup mengatasi masalah yang semakin rumit ini. Masalah yang memang muncul karena ulahku sendiri.

Nayla CanggungWhere stories live. Discover now