Dingin

56.1K 3.1K 16
                                    

"Eh, apa?"

"Kau kesini hanya untuk mengatakan itu? Sekarang kau boleh pulang," kata pemuda itu. "Sana," ia mengusirku.

Ia hampir membanting pintu menutupnya, tapi aku bilang, "Tunggu!"

"Kenapa lagi?"

"Ibuku memasak ini untuk tetangga baru, ini...," kataku canggung, sambil memberikannya bungkusan yang kubawa.

Ia menyambar bungkusan itu. Lalu menutup pintu. Dingin sekali!

"Apa!? Huh, dasar! Bilang terimakasih saja tidak!?" Gerutuku ketika sudah berjalan beberapa jauh dari rumah itu.

Sial, sial, sial. Makiku. Terik panas matahari siang itu membuatku makin kesal. Aku tidak pernah diperlakukan seburuk itu oleh siapapun! Tampang pemuda tadi memang oke, tetapi tidak sesuai dengan kelakuannya!
"Huh," dengusku lagi. "Lihat saja nanti!"

Aku akhirnya tiba di rumah.
"Bagaimana? Sudah kau antar?" tanya Mama menyambutku.
"Sudah."
"Kenapa wajahmu cemberut begitu?" Tanya Mama kemudian.
"Tetangga baru itu, Ma! Memperlakukanku dingin sekali! Dingin! Kasar pula. Bilang terimakasih saja tidak, Ma," aduku.

Mama tertawa.
"Tidak lucu!" Gerutuku.
"Hahahaha, dasar Kiara. Dengar, tidak semua orang di dunia ini baik. Terkadang ketika kita sudah berbuat baik pun, masih ada saja yang menjahati kita," ucap Mama.

Aku mengangguk, lalu kembali ke kamar.

Bisa ada, ya, orang seperti itu? Ah, mungkin hanya akunya saja yang tidak tahu. Sebagai anak tunggal orangtuaku sangat protektif kepadaku. Aku jadi tidak begitu mengetahui orang-orang di luaran sana.

Aku pun membaringkan diri, lalu terlelap.

Malamnya...

Aku turun untuk makan malam dengan keluargaku.
Ada Papa, Mama, dan aku.
"Papa sudah melihat tetangga baru kita?" Tanya Mama membuka obrolan.
"Sudah, Ma. Sepertinya mereka ramah," kata Papa.
"Ramah apanya!" Sanggahku.
"Lho, kenapa, Kiara?" tanya Papa yang baru saja pulang sehingga tidak mengetahui kejadian tadi siang.
Mama cekikikan, lalu menceritakan semuanya.
Lalu Papa tertawa terbahak-bahak.
"Papa....," kataku menghela nafas berat.
"Kasihan kamu Kiara, hahaha," Papa mengelus kepalaku seperti anak kecil.
"Pa!" tegurku.

"Permisi nyonya, tuan, ada tamu di depan. Katanya tetangga sebelah," tiba-tiba satpam rumahku masuk.

"Oh, suruh mereka masuk saja," ucap Papa.

"Tetangga sebelah yang mana lagi?" Gerutuku.

Ayah, Ibu, dan aku yang sudah menyelesaikan makan malam pun pergi ke ruang tamu untuk menyambut tamu tersebut.

"Selamat malam, Pak Grint. Kami tetangga baru di sebelah rumah anda," salah seorang bapak mengucapkan salam.

Mereka bertiga adalah sepasang suami istri, serta seorang pemuda yang bisa kupastikan adalah anaknya.

Eh, pemuda itu?
---------
Don't be a silent reader.



Psycho Boy [TAMAT]Where stories live. Discover now