"Apa Sabrina?" kini Tama maju saat aku berusaha menjauh darinya.

"Gue mau minta tolong buat gantiin lampu" aku mengatakannya dalam satu hembusan napas sambil menutup mata karena gugup karena baru saja menemukan ia berciuman dengan perempuan lain.

"Lampunya mana?" aku menunjuk meja makan tempat dimana lampu berada. Ia bertanya dimana ia harus mengganti lampu dan aku menunjuk kamar mandi.

"Pegangin kursinya" ucap Tama membuatku gugup.

Aku memegang kursi yang kini dinaiki oleh Tama. Dengan cekatan Tama mengganti lampu yang mati dengan lampu yang baru. Aku mendongak keatas melihat ia yang ternyata sudah selesai bekerja.

Ia tiba-tiba berjokong membuat mata kami sejajar. Aku memalingkan muka dan hendak pergi tapi tengan Tama mengunci dan ia membuatku menatap kedua matanya. Kemudian tanpa diduga senyum muncul di wajahnya.

"Lain kali ketuk pintu dulu" ia mengacak rambutku.

"Sorry" lirihku membuatnya tersenyum memaklumi.

"Damn Na lo dua kali liat gue ciuman" umpat Tama sambil memukul kursi pelan. Aku mundur selangkah takut karena ia tiba-tiba mengumpat didepanku.

"Sorry bukan maksud gue bikin lo takut" ia meminta maaf sambil memegang kedua bahuku.

"Sorry dua-duanya kecelakaan karena gue gak bener-bener pengen liat lo ciuman" tuturku merasa bersalah dan sedih sekaligus.

"Iya gue tau hanya gue.. ah sudahlah" ungkap Tama yang meninggalkanku begitu saja.

***

Kecanggungan luar biasa merasuki diriku ketika melihat Tama. Kami tak sengaja bertemu diambang pintu kantin. Tadinya aku akan pura-pura tak melihat tapi Adeline menyapa Tama dan Bimo yang ada beberapa meter dihadapanku.

Aku menunduk enggan memperlihatkan wajahku ketika kami semua masuk kedalam kantin yang cukup ramai. Dengan komposisi tempat duduk yang tak mengenakan aku harus duduk berhadapan dengan Tama. Aku benar-benar tak bisa melihat laki-laki itu.

Adeline sepertinya bisa membaca aura ketegangan yang terpancar dari wajahku. Beberapa kali ia mencuri pandang padaku dan melayangkan tatapan pertanyaan kenapa kau bisa secanggung ini. Aku hanya mengangkat bahu karena tak mungkin aku menjelaskan apa yang terjadi pada Adeline sementara Tama ada disini.

"Na mau makan apa?" ucap Adeline dengan suara agak tinggi. Aku terkejut kemudian tak sengaja menatap wajah Tama. Ia sepertinya dari tadi menatapku, mengamatiku yang tengah melamun.

"Hmm nasi goreng" ucapku buru-buru melirik Adeline karena takut berlama-lama melihat Tama.

"Gue yang pesen minum deh, kalian pesen apa?" tanya Bimo yang berdiri disamping Adeline. Setelah kami menyebutkan pesanan kami mereka berdua pergi memesan meninggalkan aku dan Tama.

Aku sibuk mengecek ponselku meski tak ada satu pun pesan yang masuk. Daripada aku harus menatap Tama lebih baik aku pura-pura sibuk dengan duniaku. Suara deheman dari Tama membuatku mendongak menatapnya. Ia nampak bingung untuk memulai pembicaraan.

"Damn Na bisa gak lupain yang kemaren gue kayak penjahat dilihatin lo kaya gitu" desah Tama frustasi melihat aku yang tak berbicara.

"So..rry" lirihku karena tak tau harus berkata apa lagi dan sekali lagi aku mendengar ia mendesah frustasi.

Adeline dan Bimo datang menyelamatkan suasana canggung yang menyelimutiku. Aku bersembunyi di balik obrolan Adeline dan Bimo. Sungguh rasanya ingin pergi dari sini secepatnya.

"Na lo inget Nino yang pernah sekelas sama kita di kelas bahasa Indonesia?" tanya Bimo disela-sela makan. Kepalaku kini tengah membayangkan laki-laki jangkung dengan senyum ramah yang menghiasi wajahnya. Aku juga ingat jika Nino hobi berat naik gunung membuat kulit laki-laki itu lebih sawo matang tapi tak mengurangi wajahnya yang manis.

Secret AdmirerWhere stories live. Discover now