Bab 3

3.8K 242 10
                                    

Hari minggu ini aku sibuk dengan agenda merapihkan apartemen sederhana milikku. Mulai dari menyapu seluruh ruangan, mengepel dan tak lupa mengelap kaca. Semuanya aku bersihkan berharap tak ada satu titik debu pun yang menempel di apartemenku.

Album foto itu terjatuh begitu saja ketika aku sibuk merapihkan tumpukan buku-buku lama. Didalam album foto itu mencuat beberapa foto kenanganku ketika aku masih duduk di bangku SMA. Foto-foto itu menarik perhatianku membuatku mengambil album foto dan mulai bernostalgia memandangi momen-momen yang terabadikan lewat bidikan kamera.

Foto pertama memperlihatkan aku dan Elena yang saling berlangkulan. Saat itu kami mengenakan name tag berwarna biru muda. Aku masih ingat kapan foto itu diambil. Saat itu aku dan Elena sama-sama menjadi panitia pensi yang ada disekolah kami. Lihat saja di foto ini ada panggung dan orang-orang yang sangat banyak dibelakang kami.

Foto selanjutnya adalah foto kami bertiga. Ya, foto diriku, Elena dan juga Tama. Aku dan Elena mengapit Tama yang tepat berada ditengah-tengah kami. Di foto itu lengan Tama merangkulku dan juga Elena tapi satu yang membuat Elena lebih spesial di foto ini. Elena mendapatkan tatapan dari kedua mata Tama sedangkan aku sibuk tersenyum kearah kamera.

Aku menutup album menyudahi acara nostalgia yang menguras emosiku. Terlalu lelah mengenang masa-masa aku merasakan rasanya cinta bertepuk sebelah tangan. Meski kini aku masih merasakannya tetap saja masa yang lalu lebih menyakitkan untuk diingat kembali.

Aku berlari kekamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah bercucuran keringat membereskan apartemen ini aku juga butuh untuk dibersihkan. Aku menyalakan lampu kamar mandi tapi tetap saja kamar mandi milikku masih saja gelap belum ada cahaya yang menarangi ruangan itu. Aku berulang kali berusaha menyalakan lampu tapi hasilnya sama. Sepertinya lampunya sudah usang hingga harus diganti.

Aku mengambil kursi dari meja makan dan memasukannya kamar mandi. Aku mencoba meraih lampu yang ada dikamar mandi tapi tak terjangkau olehku. Aku terlalu pendek untuk bisa mengganti lampu yang sudah mati.

Aku berlari keluar dan menuju apartemen Tama. Ia pasti mau membantuku untuk memasang lampu. Aku membuka pintu apartemen Tama seperti biasanya dan langsung masuk kedalam.

Aku tercekat dan tak bisa berkata apa-apa. Disana ada Tama dan Ariana tengah berciuman. Bibir mereka saling bertaut dan sebelum mereka menyadari keberadaanku aku berlari secepat mungkin menuju apartemenku.

Aku menyandarkan punggungku dipintu apartemenku. Jantungku melompat-lompat melihat adegan mesra yang baru saja ditunjukan oleh Tama. Rasa sakit juga menyelinap karena memikirkan bahwa Tama sudah menemukan perempuan lain.

Ketukan pintu membuatku terlonjak kaget. Aku mendengar Tama berteriak meminta dibukakan pintu olehku. Aku menggigit bibirku cemas Tama tau aku melihatnya berciuman dengan Ariana. Dua kali aku melihatnya ciuman dengan perempuan yang berbeda, ia pasti berpikir aku perempuan aneh yang suka mengintip orang yang bermesraan.

"Sabrina buka atau gue dobrak nih pintu" aku mendengarnya mengancamku. Oh Tuhan tolong aku, aku tak mau bertemu dengannya. Aku butuh bernapas dari apa yang baru saja aku lihat.

"Gue hitung sampe tiga Sabrina dan kalo lo gak mau buka pintu gue beneran dobrak" aku loncat-loncat tak menentu karena sepertinya Tama tak main-main dengan ancamannya.

"Satu... dua..ti..." aku langsung membuka pintu sambil menundukkan kepala tak berani menatap Tama. Aku merasakan Tama merangsek maju membuatku mundur beberapa langkah.

"Kenapa keapartemen gue?" tanyanya cuek seperti ia tadi tidak melakukan adegan bermesraan bersama Ariana.

"Itu..gue..aduh..itu.." aku jadi gagap tak bisa bicara lancar karena aura menakutkan yang Tama keluarkan.

Secret AdmirerWhere stories live. Discover now