Bab 2

5.3K 252 10
                                    

Jalanan macet dan lampu kota yang berkelap-kelip kadang bisa memberikan sedikit ketenangan dalam hati yang penat. Seperti hari ini aku dari lantai dua puluh dengan sengaja melihat kemacetan jalanan dan juga lampu kota. Dari atas sini semua terlihat indah tidak seperti orang-orang di bawah sana yang aku yakin tengah kesal karena kemacetan jalanan. Sedikit egois memang melihat keindahan orang-orang yang tengah di uji kesabarannya karena macet.

Suara pintu bergeser terdengar dari sebelah kanan. Aku melihat Tama keluar membawa gitar dan secangkir minuman yang asapnya masih mengepul. Ia sepertinya tak menyadari bahwa aku ada di balkon yang ada disampingnya.

Ia duduk di satu-satunya kursi di balkon miliknya. Ia meniup minuman miliknya kemudian menyesapnya. Wajahnya tenang menikmati minuman miliknya. Meski sudah sepuluh menit aku menatapnya ia masih tak sadar ia memiliki penonton.

Ia mengambil gitar disampingnya dan mulai memposisikan diri untuk bermain gitar. Ia berdehem beberapa kali sebelum mengeluarkan suaranya. Petikan gitarnya mulai terdengar indah hingga akhirnya aku mendengar suaranya yang merdu.

Aku bertepuk tangan setelah ia berhasil menyelesaikan lagunya. Wajahnya terkejut tapi hanya sebentar karena kini berganti dengan senyum yang menghias wajahnya. Ia memandangku seakan bertanya sejak kapan aku berada disini. Aku hanya mengendikkan bahu sebagai jawaban dari tatapan yang di lontarkannya.

"Wah gue punya penonton ilegal" sindirnya karena diam-diam menikmati dirinya yang tengah bernyanyi.

"Salah sendiri nyanyi di tempat yang bisa didenger orang lain" balasku tak mau disebut penonton ilegal.

Bunyi ponsel milik Tama terdengar membuatnya merogoh sakunya. Setelah menemukan ponselnya ia bergegas membaca pesan singkat yang baru saja datang. Raut wajahnya berubah menjadi lebih berseri-seri dan aku tau apa artinya itu. Ia baru saja mendapatkan pesan dari Ariana. Aku yakin meski ia tak mengatakanya padaku.

"Jadi udah jadian sama Ariana?" tanyaku dengan mata menyelidik ingin tau.

"Masih PDKT" jawabnya santai tak tau bahwa aku cemburu berat ia bilang masih dalam tahap pendekatan dengan perempuan lain.

"Ohhhh..." ucapku berakting bahwa itu sama sekali tak menarik.

"Lo kapan move on dari Gilang?" aku mendesah kemudian berkecak pinggang ingin menunjukan bahwa ia memilih topik yang salah untuk dibicarakan. Ia terkekeh sebentar kemudian meminta maaf.

"Habis udah lama banget lo jomblo, stuck di Gilang sih lo" komentarnya yang tak tau bahwa aku bukan stuck di Gilang tapi stuck didirinya.

"Jangan bikin gue senewen Tama" ujarku memperingatkan dan kini ia malah tertawa melihat aku kesal. Aku melotot padanya protes karena ia malah tertawa tapi yang terjadi adalah ia semakin keras tertawa.

"Lo PMS ya sensi amat" ucapnya setelah puas tertawa. Aku sebal tiap kali perempuan marah pasti para lelaki selalu menghubungkannya dengan urusan hormon yang ada dalam PMS.

"Perempuan marah gak selamanya karena PMS" tatapku dengan raut muka serius.

"Iya memang gak selamanya karena PMS tapi kadang-kadang perempuan menjadikan PMS senjata utama mereka kalo lagi ngambek" meski ucapan Tama benar tapi tak semua perempuan menggunakan PMS untuk bisa marah dengan seenaknya.

"Tama gue mau buka mata lo nih ya kalo gak semua perempuan itu menyalahgunakan PMS" aku melotot padanya sambil menekankan setiap kata yang keluar dari mulutku.

"Coba kasih tau siapa?" ia menantangku.

"Gue, apa pernah gue marah-marah sama lo dan menyalahkan siklus bulanan gue?" tanyaku percaya diri karena menurut pandanganku sendiri aku tak pernah menyalahkan PMS jika tengah punya amarah yang meledak.

Secret AdmirerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang