Bab 1

13.3K 407 4
                                    

Untuk kesekian kalinya mataku terpaku padanya. Sudah aku ingatkan diri sendiri ini tak baik mengingat ia tak pernah menyadari bahwa sepasang mataku tak henti-henti menatapnya. Terlalu indah untuk di lewatkan tetapi terlalu menakutkan untuk tetap menatapnya.
Ia masih saja sibuk dengan buku yang ada didepan mejanya. Sesekali ia sibuk mengetuk-ngetukkan pulpen terlihat seperti orang yang tengah berpikir. Beberapa kali aku juga menemukannya mendesah frustasi. Ia mungkin tak menyadarinya tapi aku melihat semuanya. Melihatnya dengan jelas apa yang tengah ia lakukan.
Suara deheman keras menyadarkanku dari lamunan. Adeline kini tengah geleng-geleng kepala sambil menatap curiga. Aku tersenyum seperti orang tolol karena sudah ketahuan menatap memuja pada Aditama Firmansyah alias Tama.
“Sampai kapan lo bakal liatin dia mulu, emang gak cape apa?” pertanyaan yang sudah familiar didengar oleh kedua telingaku. Rasanya aku ingin berteriak dan menjelaskan pada semua orang bahwa aku juga lelah. Aku juga ingin ia tau bahwa ada aku disini diam-diam memperhatikannya tapi aku tak punya keberanian seperti itu. Jawabanku juga selalu sama jika ada orang menanyakan pertanyaan seperti yang diajukan Adeline, berpura-pura bodoh dan tak mengerti apa yang mereka tanyakan.
Lambaian tangan Tama membuatku terbelalak kaget takut ia mendengar apa yang dilontarkan Adeline. Tapi sepertinya laki-laki itu tak mendengar karena kini aku melihat cengiran lebar di wajahnya. Seperti penanda ia tadi terlalu sibuk dengan dunianya sehingga tak menyadari aku memperhatikannya sedemikian rupa.
“Kantin, cacing di perut gue udah demo” ucap Tama singkat yang dijawab anggukan setuju dariku sedangkan Adeline dan Bimo hanya mengekor dari belakang tanpa menjawab.
“Lo habis ini ada kelas lagi gak?” tanya Tama melirikku dan aku ditatap begitu saja sudah meleleh. Menjijikan memang terlihat lemah karena jatuh cinta tapi apa daya itu yang terjadi ketika aku jatuh cinta.
“Gak, kenapa emang?” tanyaku penasaran apa yang akan dilakukan Tama ketika aku tak punya kelas lagi.
“Nonton gimana? Gue bosen” tawarnya dan aku tentu menerima ajakan itu. Tak mungkin aku melewatkan sedetik pun untuk bisa bersama dengan Tama. Laki-laki yang berjalan disampingku melirik kebelakang menanyakan pendapat Adeline dan Bimo. Mereka kompak bilang bahwa mereka sudah punya acara masing-masing.
“Gih jalan berdua aja” pancing Adeline membuatku menatapnya dengan tatapan ‘apa yang sedang kau lakukan’. Tapi yang dipandang malah cuek bebek dan melanjutkan aksinya membujuk Tama agar kami pergi berdua. Meski aku ingin tapi ini sedikit keterlaluan. Memang aku sudah pernah jalan berdua dengan Tama tapi tetap saja tak bisa menjauhkan rasa gugup yang selalu mendera jika ketika berdua dengannya.
“Karena yang lain gak bisa ya kita aja Na” ucapnya sambil tersenyum setuju dengan usulan Adeline yang sebenarnya hanya menggodaku. Aku mengigit bibir tak bisa menahan euforia bahagia bercampur gugup yang aku rasakan.
***
Ruangan sudah gelap, cahaya lampu sudah dipadamkan. Satu-satunya cahaya yang bisa aku lihat hanya dari layar besar didepan. Butuh penglihatan ekstra bagiku untuk melihat jalan agar tak terjatuh. Tama terlihat beberapa kali menengok kebelakang seperti memastikan bahwa aku mengikutinya dari belakang. Kami terlambat masuk jadi harus gelap-gelapan mencari kursi milik kami.
Tangan hangat yang lebih besar dariku menggenggam tanganku. Hatiku bergetar dan jantung berdegup tak karuan. Tama terlihat berbalik menghadapku kemudian berbisik tepat ditelingaku. Ia bilang ‘Takut lo ilang’, singkat tapi mampu menggetarkan perasaanku.
Tanganku dilepas begitu saja ketika kami menemukan kursi milik kami. Aku sudah tak peduli lagi didepan layar tengah memperlihatkan apa. Aku masih terpaku pada wajah Tama yang diterangi cahaya seadanya.
“Lo gak masalah kan liat film bunuh-bunuhan” aku gelagapan ketika Tama bertanya dan aku hanya mengangguk dan bilang aku sudah biasa menonton genre film seperti itu bersama kakak laki-lakiku. Ia hanya mengangguk-angguk kemudian melihat kembali kelayar besar didepan.
Ketika film tengah memutar adegan tembak-menembak aku merasakan ponsel Tama bergetar. Aku melirik Tama yang kini tengah mengecek ponselnya. Aku mengigit bibirku ketika melihat ia tersenyum setelah membaca pesan dari seseorang yang aku yakini dari Ariana. Perempuan yang tengah dekat dengan Tama beberapa bulan ini. Meski Tama tak bercerita dari gelagatnya saja aku sudah tau bahwa ia tengah menyukai perempuan bernama lengkap Ariana Indira yang beberapa kali tertangkap satu kelas bersama kami.
Pertemuannya dengan Ariana tak ada yang spesial, ia bahkan tak bertukar nama secara resmi dengan Ariana. Mereka berdua sudah sama-sama tau nama dan entah kenapa mereka bisa jadi akrab. Bahkan aku butuh satu tahun untuk bisa dekat dengan Tama.
“Are you oke Na?” tanyanya membuatku tersadar bahwa aku tengah menunduk. Aku menatap Tama kemudian bilang aku baik-baik saja. Mana mungkin aku bilang jika aku melihat semua yang ia lakukan hingga sadar bahwa ia tengah bertukar pesan dengan perempuan lain yang membuatku cemburu berat.
“Film nya gak seru ya?” tanyanya lagi tampak merasa bersalah. Aku kemudian kembali menggeleng dan bilang hanya tiba-tiba teringat sesuatu. Itu alasan terbodoh yang pernah aku lontarkan tapi apa daya aku tak bisa menarik kembali kata-kataku.
“Sabrina Adriana tolong kasih tau gue kalo ada yang salah jangan bikin gue bingung” ucap Tama berbisik takut terdengar orang lain. Aku tersenyum senang ia memanggilku dengan nama lengkapku.
“Aditama Firmansyah gue gak kenapa-kenapa” ucapku sambil menaikan alis dan kembali menatap layar meski tak bisa fokus karena masih bisa merasakan tatapan dari laki-laki yang duduk disampingku.
***
Aku ingin berteriak, menangis dan melakukan hal bodoh agar rasa yang bergelanyut dalam hatiku ini lekas pergi. Siang tadi aku melihat dengan kedua mataku Tama bergandengan tangan dengan Ariana. Mereka tertawa berdua seakan tak sadar kedua mataku mengamati mereka.
Ini bukan pertama kalinya aku melihat Tama dengan perempuan lain. Sudah sepuluh tahun aku berteman dengan Tama. Selama itu aku harus menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri ia bergonta-ganti perempuan. Total sudah lima perempuan dan belum termasuk Ariana perempuan yang pernah dekat atau menjalih hubungan dengan Tama.
Setiap kali melihatnya dengan perempuan lain tentu perasaanku kacau balau. Mana ada perempuan yang sanggup melihat laki-laki yang dicintainya dengan perempuan lain. Aku bahkan pernah membatasi pertemuan dengan Tama setiap kali ia punya perempuan yang tengah dekat dengannya. Tapi tetap saja rasa cinta itu masih ada. Masih tersimpan rapih dalam relung hatiku menunggu ia kembali padaku setelah putus dengan perempuannya.
Adeline selalu bilang aku pengecut karena tak berani mengungkapkan perasaanku. Ya, dia benar, aku memang pengecut yang diam-diam bersembunyi dibalik kata persahabatan bersama Tama. Aku takut keluar dari zona nyamanku. Dan satu hal yang alasan terbesarku kenapa aku tak mau mengakui perasaanku adalah aku tau Tama memilik satu perempuan dihatinya. Aku tau ia masih menanti perempuan di masa lalunya yang diam-diam ia tunggu. Meski ia tak bicara aku tau ia masih menyimpan perempuan itu dihatinya sama seperti aku yang menyimpan dirinya dalam hatiku.
Jadi untuk apa aku menunjukan perasaanku jika aku tau ia tak mencintaiku. Adelina juga pernah bilang harusnya aku bisa move on dari Tama. Sungguh aku berusaha untuk terlepas dari jerat cinta yang membelengguku. Aku pernah mencoba menerima tawaran lawan jenisku yang mendekatiku tapi tak ada yang bisa mempesona seperti Tama.
Terkadang cinta membuat aku seperti orang tolol. Tau bahwa mencintai Tama akan menyakiti hatiku tapi tetap saja mencintainya. Tau bahwa hal terbaik adalah melepaskan Tama tapi tetap saja menyimpannya dalam hati. Yah kata orang kan cinta melumpuhkan logikamu. Hanya hatimu yang bermain dan hatimu tak mengenal rasional.
Jadi yang kulakukan kini adalah menunggu. Membiarkan waktu mengambil alih semuanya. Biar waktu menghapus perlahan rasa cinta yang sudah ada dalam hatiku. Meski tau butuh waktu lama aku akan bersabar menyimpan rasa cinta ini hingga ia hilang dengan sendirinya.
***

Secret AdmirerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang