"Terus kenapa Valerie masih sering datang ke apartemen kamu? Oke deh kalau siang hari, dia punya alasan buat jenguk Gavin. Tapi kalau datangnya tengah malam buat apa?" Ujar Bunda.

"Dia cuma numpang tidur." Kataku yang dibalas dengan tatapan membunuh oleh Bunda. "Bukan begitu. Tapi maksudnya ya tidur dalam arti 'tidur' yang sebenar-benarnya. Dan itupun beda kamar."

"Kamu pasti bohong! Kamu masih berhubungan kan sama dia? Ngaku!" Teriak Bunda.

"Gak pernah lagi. Oke oke... let me be honest, we never have sex again since... last year."

"Astaga, Devan!!! Last year  kamu bilang? Sedangkan kalian aja udah cerai 4 tahun yang lalu!" Pekik Bunda. Ayah pun ikut tersedak. Demi apapun aku jadi nyesal coba jujur ke mereka. Susah memang punya orang tua yang suka berprasangka buruk.

"Jangan marahi aku dong. I just try to be honest. Lagipula semenjak disini aku udah gak pernah begitu lagi. Aku udah berubah."

Bunda dan ayah saling bertatapan. Entah apa maksud mereka sebenarnya pun aku gak tau. "Pokoknya Bunda gak mau lagi denger soal tingkahmu yang aneh-aneh. Ingat, bentar lagi Gavin makin besar. Mau sampai kapan kamu gini terus."

"Iya iya, bawel."

Begitulah seterusnya, menikmati omelan wajib yang selalu ada di saat aku datang ke rumah ini. Tapi paling tidak sifat Ayah sekarang jauh lebih baik daripada dulu. Kalau dulu tiap kali aku buat onar dia pasti menamparku. Mungkin sekarang dia sudah mulai pasrah dengan segala macam tingkahku ini.

Waktu sudah jam 11 malam tapi aku masih belum bisa tidur. Padahal kalau diliat dari aktifitasku seharian ini sudah bisa dipastikan aku tidur nyenyak di ranjang sekarang. Tapi entah kenapa rasa kantuk sedikitpun gak ada. Alhasil aku duduk di ruang tamu menatap kosong ke arah dinding, berharap semoga rasa kantuk segera masuk ke mataku.

"Kak, belum tidur?"

Aku menoleh ke arah setan kecil yang memanggilku. "Dari mana aja kamu baru pulang jam segini?"

"Dari apartemennya Mita."

Mendengar nama Mita jantungku kayak ada serangan mendadak. "Ngapain?" Tanyaku penasaran.

"Kepo banget sih. Biasalah urusan cewek. Kakak gak perlu tau!"

Aku menarik nafas dalam. Susah memang kalau berurusan sama adikku yang satu ini. Dia jauh lebih sensitif kalau aku tanya soal Mita. Tapi biar aku coba sekali ini.

"Ngomong-ngomong Mita udah punya pacar ya?"

"Kan udah aku bilang, jangan kepo!" Jawab Katya ketus, buat aku geram.

"Aku cuma nanya, Katya!" Sebisa mungkin aku mengontrol nada suaraku tapi gagal.

"Terus apa urusannya sama Kakak? Naksir kan sama dia? Hohoho hell no! Dia itu terlalu baik buat Kakak."

"Jadi kamu bilang kakakmu ini buruk gitu?"

"Memang iya."

Aku memejamkan mataku. Aku bukan emosi, tapi kesal. Aku dan Katya memang gak pernah bertengkar hebat. Tapi cuma dialah satu-satunya yang mampu mematahkan omonganku.

"Kamu kenapa sih segitu posesifnya sama Mita?"

"Karena aku sayang sama dia. Jadi kakak harus hati-hati. Karena jangankan buat mainin dia, buat nyentuh dia aja aku gak akan pernah biarin."

Aku menyunggingkan senyumku. Pikiran dia terlalu buruk. Aku sama sekali gak ada niat untuk mainin Mita, apapun bentuknya, baik tubuh maupun perasaan. Dan jangankan soal nyentuh, menciumnya pun aku udah berhasil. Ck, dasar Katya lugu.

Hold Me CloserWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu