Maaf, aku mencintaimu...

Start from the beginning
                                    

“Apa begitu sapaan pagimu untuk suami?” sindirku sinis. Dia mencibir.

“Apa begitu ucapan yang bisa didengar istri pagi-pagi?” balasnya. Aku baru saja bermaksud mendorong keningnya, tapi urung. Kalimatnya barusan menarik sekali.

Aku tersenyum simpul, “Jadi kau sudah ingat kalau kau istriku?”

“Inget,” dia menyahut, membuat bibirku tertarik membentuk senyuman, “Dan menyesal,” sambungnya dengan cibiran yang kontan menghapus senyuman di wajahku. Aku tidak bisa menahan tanganku untuk mampir di keningnya dan mendorong dia hingga terjengkang lalu beranjak pergi meninggalkannya yang melafalkan sumpah serapah untukku. Masa bodoh.

.

Kalau biasanya wanita suka belanja –setauku begitu, tapi Mello tidak. Dia ini memang jenis langka yang pantas kuajukan ke UNESCO untuk di lestarikan. Sejak tadi aku malah aku yang terlihat seperti istri koruptor yang gila belanja. Bah!

“Seriusan ini, Roo…laper aku…adudududuh…laper banget,” dia meringis sambil memegangi perutnya. Aku mengangkat sudut bibirku membentuk seringai sinis. Lapar lagi? Aku yakin sekali kalau baru 25 menit yang lalu kami keluar dari restaurant dan sekarang dia lapar lagi?

“Apa Tom Yum dan Nasi Biryani belum cukup menyumpal mulutmu?” tanyaku retoris. Dia menggeleng.

“Belum. Cuma seiprit gitu apa sanggupnya…,”

“Apa bibirku cukup untuk menyumpal mulutmu yang berisik itu?” aku bertanya asal. Tolong jangan tanya dimana harga diriku saat melontarkan pertanyaan barusan. Harga diriku yang mahalnya bisa di hargai dengan 3 matahari di tambah 5 bulan purnama itu sekarang bahkan tidak lebih dari sebuah lampu senter. Lampu senter yang baterainya soak.

Aku menaikkan sebelah alisku saat respon yang kudapatkan tidak sesuai dengan yang kubayangkan. Biasanya dia akan berteriak, atau berseru, atau apapunlah yang bersifat hiperaktif dan sedikit anarkis. Tapi kali ini dia malah menunduk, mengangkat wajahnya sekilas untuk melihatku, kemudian menunduk lagi.

Kenapa dia?

Kehabisan baterai?

“Mmmh, itu lucu ya… Hahahaha,” dia tertawa hambar sambil menunjuk kerumunan orang di salah satu stan penjual topeng. Aku menaikkan alisku. Lucu? Bagian mananya? Apa lucunya kumpulan turis berambut pirang yang sedang belanja? Sense of humor-ku yang kacau atau…Oh. Tentu saja Mello yang kacau. Pemikirannya. Tingkah lakunya. Semuanya…aku menoleh ke kananku dan Mello sudah tidak lagi berada di sebelahku.

Hey! Dia kemana?

“Mello?” aku masih melihat kelebatan punggungnya di antara kerumunan orang. Aku nyaris berteriak memanggil namanya kalau saja aku tidak ingat ini adalah tempat umum.

Dasar otak amoeba!

Dia pikir ini  halaman belakang rumahnya sampai senekat itu pergi tanpa aku? Kalau tersasar mampus dia. Aku merutuk panjang pendek.

Aku kemudian merogoh saku celanaku dan mengambil ponsel. Baguslah, Fabio sudah mengaktifkan GPS di ponselnya hingga aku tidak perlu repot-repot menyewa detektif untuk mencari seonggok Mello. Bah.

“Ternyata kau ada di sini juga,”

Gerakanku terhenti saat mendengar suara yang sangat familiar di telingaku. Aku berbalik untuk memastikan. Sebenarnya tidak perlu karena aku sudah sangat yakin kalau itu…

“Rheo,” aku menggumam namanya pelan. Kenapa dia bisa ada disini? Aleyna mana? Ck. Aku sungguh masih penasaran tentang hal yang melandasi hubungan mereka.

Dia tersenyum tipis, “Senang rasanya bisa melihatmu di Negara lain, belahan dunia lain, di tempat-tempat yang tidak terduga, padahal aku tidak sedang menguntitmu,” ujarnya. Sikap tenangnya membuatku menaikkan bibirku menunjukkan segurat senyum datar.

Caramello Kiss-OWhere stories live. Discover now