Maaf, aku mencintaimu...

43.5K 1.4K 545
                                    

Alvaro

Telingaku berdengung mendengar penggalan kalimat Fabio. Seperti biasa. Dia bicara sepatah-sepatah dan tidak utuh agar orang yang mendengar bisa berpikir dan menarik kesimpulan.

Tapi kali ini patahan kalimatnya terasa seperti sedang mendengar ramalan kiamat 2012. Aku melongo antara percaya dan tidak percaya. Well, jujur saja, lebih banyak tidak percayanya memang. Oke, baiklah, aku mengaku, aku tidak percaya sedikitpun.

“Menikah? Kau?” aku mengulang ragu.

“Hmm,” kedengar gumaman mengiyakan dari ponselku. Mulutku menganga. Masih tidak percaya.

“Mustahil kan? Maksudku...,” Ck. Serius, aku kehilangan kemampuan berpikir dengan benar. Salahkan Mello dan ketololannya yang menular. Sial. Aku butuh logika sekarang. Kemana logikaku? Ikut menggelinding di lantai bersama Mello? Bah.

“Harusnya aku dengar kau bilang ‘selamat’, bukan begitu?” dia bicara dengan nada tenang yang khas Fabio sekali, tapi kali ini aku sama sekali tidak di buat tenang. Aku malah ingin menonjok wajahnya satu-dua kali agar otaknya bisa kembali ke tempat yang sewajarnya.

“Kenapa tiba-tiba?” tanyaku.

“Kenapa memangnya? Kau tidak benar-benar berharap akan menikah denganku, kan?”

“Ide yang tidak buruk. Kudengar Prancis juga sudah melegalkan pernikahan sesama jenis. Jadi ada alternatif lain selain Belanda,” aku menyahut asal, “kau menikah dengan wanita kan?” lagi-lagi pertanyaan bodoh yang keluar dari mulutku. Mello benar-benar luar biasa. Terlalu lama di dekatnya kurasa bisa memberikan dampak buruk pada kelangsungan kinerja otakku. Sekarang Mello dan Fabio berkolaborasi membuatku terlihat dan terdengar seperti orang bodoh.

“Memangnya aku kau,” dia menyahut pendek.

“Kau lupa, aku menikah dengan wanita,” wanita jadi-jadian, sambungku dalam hati dengan ekor mata melirik Mello yang masih bergeming di tempat tidur.

“Seingatku terakhir kali kulihat, Gladys masih bergender wanita,”

Glad?! Like seriuosly, Gladys?! Bukannya dia bilang kalau dia tidak tertarik pada Gladys? Jelas-jelas Fabio itu…mencintai Mello….

“Kita sama-sama tau kan…kau…dia…,” aku melirik Mello yang masih meringkuk di tempat tidur. Tidak ada jaminan kalau dia benar-benar tidur. Dia punya kebiasaan buruk, suka pura-pura tidur. Kalau dia dengar bisa bahaya. Kalau dia tau Fabio menyukainya, posisiku bisa terancam. Sorry for this selfish thing. I have to defend mine.

Should I underline that she’s yours?”

Aku terdiam. Jadi karena aku. Sebenarnya ada hutang budi apa Fabio padaku sampai dia harus mengalah? Dia malaikat? Jelas bukan. Aku tau seberapa brengseknya Fabio dulu. Oke…dulu. Kalau sekarang, kurasa aku rela memasangkan sayap di punggungnya.

“Sudah ya, aku harus menemani Gladys mencari gaun,” dia berkata menyudahi kebisuanku barusan.

“Bi,”

“Jaga dia…berbaik hatilah sedikit. Dan…,”

“Dan?”

“Rebut hatinya dariku…,”

Ha? Belum sempat aku menyahuti, Fabio sudah mematikan sambungan tanpa pamit.

Rebut hatinya? Hati Mello? Sialan! Fabio menantangku, eh?

“Fabio brengsek,” gumamku.

“Alvaro kutu busuk,”

Aku menoleh refleks. Mello yang tadi masih meringkuk di tempat tidur sekarang sudah duduk dan memandangku sengit.

Caramello Kiss-OМесто, где живут истории. Откройте их для себя