Chapter 2: SAKIT

374 12 2
                                    

"Christan!"

"Ya!" sahutku. "Aku pulang dulu Lily. Besok kita main lagi kalau hujan."

"Baiklah."

Aku menyusul abangku yang masuk ke rumah. Kulihat dia membawa sekantung keranjang kecil, pastinya adalah makanan ringan, cocok sebagai kudapan setelah makan malam. Aku berpaling ke belakang melihat pada Lily yang sedang menari-nari. Tidak tega aku melihatnya sendirian di tengah hujan, apa daya pasti akan kutanyakan pendapat pada abangku hari ini.

Sinar-sinar lentera menemanikami makan di malam dingin itu. Bang Herlas terlihat agak lelah, aku jadi ragu untuk berbicara padanya.

"Bagaimana lesmu hari ini?"

"Baik-baik saja," jawabku ragu.

"Benarkah?"

"Hrg....Agak sedikit sulit saja."

"Tenang saja. Semuanya perlu dipelajari pelan-pelan," kata Bang Herlas. "Dan untungnya Pak Bell orangnya baik."

"Ya. Untung saja."

Hari ini adalah hari pertama aku les, dari jam 9 pagi sampai 12 siang. Kendati sekolah mahal, hanya ini yang sanggup diusahakan oleh abangku. Sebelumnya aku menolak karena sangat berhemat akan uang.Setelah mendengar penjelasan dan dipaksa abangku, aku setuju. Seperti ibu-ibu pemikiranku diusia diniku, itu perlu setelah ditinggal mati orang tua kami. Jujur saja, aku sangat ingin sekolah, dan sangat bersyukur dapat les sekarang. Abangku sebenarnya tidak tamat sekolah, namun kepandaiannya membuat bos merekrutnya.

"Jadi tadi kau bermain dengan teman hantumu?" tanyaBang Herlas. Aku sudah menceritakannya tentang Lily.

"Ya. Kami main banyak hal. Dari petak umpet, sampai menebak-nebak kata.Paling menarik ketika kami menari-nari walaupun aku masih belajar."

"Kegiatan yang menarik," kata Bang Herlas. "Siapa nama temanmu itu? Linda or Li..."

"Lily."

"Ya, Lily Estany, kan? Aku ingat sekarang."

"Dia gadis yang baik dan..."

"Cantik," potong abangku.

"Mungkin."

"Kau tidak tertarik padanya?"

"Hah?"

Wajahku memerah. Abangku tersenyum lebar.

"Dia hantu bukan?"

"Dia manusia," jawabku. "Tapi.... Memang dia bukan manusia atau mungkin ..."

"Mungkin apa?"

"Mungkin... Entahlah. Aku tidak tahu."

"Roh. Roh penasaran."

"Roh? Tidak cocok menyebutnya begitu."

"Kalau begitu anggap saja dia teman khayalan."

"Teman khayalan?"

"Ya. Teman khayalan, kalau orang bertanya kau dengan siapa."

"Para tetangga bergosip tentang diriku?"

"Sudah sedari seminggu yang lalu."

"Mereka menganggapku aneh?"

"Mungkin ya, mungkin tidak. Kau tidak berteman dengan anak-anak seusiamu, dan berpikir terlalu dewasa untuk usiamu yang masih sangat hijau."

"Apa boleh buat. Ada baiknya seperti itu."

"Aku merasa bersalah. Aku memberimu beban hidup padahal kau masih kecil," kata abangku sedih, seraya meminum teh. "Kalau saja aku bisa menghasilkan lebih banyak uang."

Rainy Ghost (Indonesia)Where stories live. Discover now