Part 6

52.8K 2.9K 45
                                    

Panas, Syna merasa terpanggang di hamparan gurun sahara peluhnya bercucuran dan mungkin sebentar lagi mampu menciptakan sebuah danau. Dadanya sesak, ia tidak bisa bernafas seakan-akan ada batu besar menindih tubuhnya. Syna yakin ia akan segera mati tersiksa, bahkan ia bisa melihat surga di depannya, Syna berusaha menggapai tapi kaki dan tangannya tidak bisa bergerak. Ditengah keputusasaanya, Syna berharap ini mimpi. Yah ini hanya mimpi... hanya mimpi... yang perlu ia lakukan hanya membuka mata. Benar saja ketika ia membuka mata itu hanyalah mimpi. Mimpi yang disebabkan oleh tubuh besar menimpanya. Yang juga membuatnya tidak bisa bergerak. Bajunya basah oleh keringat untungnya saja ia masih bisa bernafas. Syna sesaat terpaku, kapan Dimitri kembali ke kamarnya. Seingatnya pria itu meninggalkannya seusai percintaan mereka. tapi sekarang ia mendapati suaminya tidur disebelahnya, diatasnya lebih tepat. Tangan dan kakinya memerangkap Syna, nafasnya menggelitik leher Syna. tidur yang tersiksa tapi membahagiakan, jika mimpi buruk adalah harga yang dibayar untuk tidur dengan Dimitri, Syna tidak keberatan samasekali. Pemikiran itu membuatnya tersenyum.

Ketika Dimitri bergerak, dengan perlahan Syna membebaskan dirinya. ia harus segera kabur sebelum Dimitri bangun. Akan sangat canggung jika mereka bangun dalam keadaan yang seperti ini. Terlebih lagi, Syna tidak tahu apa yang harus ia ucapkan.

Syna kemudian segera pergi ke kamar mandi tapi ia enggan membasuh tubuhnya, ia masih menginginkan jejak percintaannya dengan Dimitri melekat di tubuhnya. Sangat konyol. Tapi pada akhirnya, Syna mengguyur kepalanya dan tubuhnya dibawah Shower.

Jangan pernah berharap suamimu akan membuatkanmu sarapan seusai bercinta seperti novel-novel cengeng percintaan. Itu tidak akan terjadi. Dimitri seperti biasa duduk di meja makan dengan Koran ditangannya. Hanya saja kali ini ia masih berantakan.

"kau mau kopi?" Tanya Syna ketika melihat atas meja kosong.

"jika kau tidak keberatan." Dimitri mengiyakan. Syna kemudian mengambil cangkir dan menekan tombol pada mesin pembuat kopi. Lihatlah betapa semua kehidupan Dimitri penuh dengan kepratisan. Jika ada mesin pencetak anak, Syna tahu Dimitri tidak perlu repot-repot mengajaknya menikah.

Setelah memberikan cangkir kopi pada Dimitri, Syna mengambil beberapa lembar roti dan memanggangnya.

"Aku bertemu dengan David Edgar, dia menyinggungmu."

Nama David Edgar menyentakkan tubuh Syna. ia mencengkram mug yang ia pegang. "mengapa kau bisa berhutang pada David untuk tas dan bajumu? Yang aku tahu David adalah pengusaha tembakau. Apakah kalian pernah melakukan hubungan seks?"

"itu bukan urusanmu." Jika saja Dimitri tidak mengucapkan kata-kata kasar itu, mungkin Syna akan bercerita.

"Syna." Dimitri mencoba memperingati.

"aku tidak melakukan hubungan seks dengannya. Jika aku melakukan seks, aku tidak perlu membayar hutangku. Pelayananku sudah cukup untuk membayar hutangku. Kau puas." Syna bangkit dari kursinya dan mengambil roti panggang. Mengoleskannya dengan selai coklat. Mungkin karena tekanan hidupnya yang begitu tinggi. Coklat seakan-akan menjadi kebutuhan hidupnya.

"jadi mengapa kau meminjam uang padanya?" Dimitri melipat korannya matanya tidak mau beralih dari Syna.

"dia bintang tamu di acaraku. Dan dia bersedia meminjamkan uang ketika aku mengatakan ingin membeli tas dan baju mahal."

"tidak bisakah kau hidup lebih sederhana."

"dan tidak bisakah kita tidak meributkan hal ini." Baru semalam Dimitri memperlakukannya dengan lembut dan kini semua kembali ke titik nol.

Dimitri menghela nafas. Semalam rasa laparnya belum terpuaskan, mungkin itu yang menyebabkan emosinya tidak karuan. Ia ingin menyentuh istrinya. lagi dan lagi.

Stupid WeddingWo Geschichten leben. Entdecke jetzt