Dua

11.2K 784 35
                                    

David duduk di sebuah kursi kayu sambil mengelapi darah di hidungnya dengan tissue.



Sepertinya tempat persembunyiannya tidak diketahui oleh Hugo ataupun Nathan, karena tempatnya tidak terlalu terekspos. Tempatnya di belakang ruang perpustakaan. Sepi sekali disini. Apalagi hujan sudah berganti dengan gerimis.



Sial! Kalau saja ia tidak ikut ke lapangan basket, pasti kejadian seperti ini tidak akan terjadi.



Tiba-tiba saja airmata David berlinang. Bukan karena sedih. Tapi karena menahan rasa sakit di hidungnya.



***



David kembali ke kelas dengan langkah agak malas. Walaupun darah pada jerawat di hidungnya sudah berhenti, tapi tetap saja rasanya masih perih.



"David? Kamu kemana saja?" tanya Hugo khawatir begitu David tiba dikelas.



"Aku di UKS," jawab David berbohong.



"Jangan bohong deh. Aku tadi mencarimu ke UKS tidak ada. Bagaimana jerawatmu?" tanya Hugo.



"Tidak apa-apa kok. Darahnya sudah berhenti. Nanti juga sembuh sendiri."



Hugo mengangguk.



"Oh iya, barusan anak kelas satu itu kesini mencarimu."



"Siapa maksudmu?"



"Anak basket tadi yang tidak sengaja melempar bola basket ke arahmu."



"Terus kamu bilang apa sama dia?" tanya David.



"Memangnya aku harus jawab apa kalau aku tidak tahu? Tadi dia nitip ini," ucap Hugo sambil menyerahkan sebuah handphone. Bukannya itu handphone David? Kok bisa ada pada Nathan? Apa mungkin tadi terjatuh?



David mengambil handphone dari tangan Hugo.



"Kasian anak kelas satu tadi. Ia sepertinya merasa bersalah banget."



David tidak mempedulikan apa yang baru saja di ucapkan oleh Hugo. David agak sebal dengan anak kelas satu itu.



***



David mengayuh sepedanya menuju rumah. Tapi sepertinya hujan akan jatuh lagi. Langit sangat gelap.



Belum sempat David berpikir macam-macam, tiba-tiba sebuah motor dari belakang memelankan kecepatannya dan menyejajari David. David menoleh.



Deg!



Nathan?



"Aku minta maaf soal tadi. Aku benar-benar tidak sengaja. Apa hidungmu baik-baik saja?" tanya Nathan.



Belum sempat David menjawab, tiba-tiba hujan turun dengan deras.



Segera saja David mempercepat sepedanya, lalu berhenti di sebuah teras toko yang sudah tutup. Nathan juga mengikuti.



Ah! Untung baju seragamnya tidak terlalu basah.



David turun dari sepedanya. Nathan turun dari motornya lalu mendekati David.



"Namaku Nathan. Aku minta maaf soal kejadian tadi."



David menoleh memandang wajah tampan Nathan. Benar juga apa yang di katakan cewek di lapangan basket tadi. Walaupun masih kelas satu tapi perawakannya sangat gagah. Tubuhnya tinggi.



Tunggu dulu! Stop!



David harus menghentikan imajinasinya.



"Iya. Tidak apa-apa," jawab David berusaha untuk sedikit santai walaupun rasa sebalnya masih ada.



"Jadi...," ucapan Nathan menggantung.



"Jadi apa?" tanya David.



"Namamu siapa?" tanya Nathan.



"David," jawab David singkat.



"David? Baiklah kalau begitu."



Dalam hati David bertambah jengkel. Apa-apaan maksudnya memanggil namanya tanpa ada kata "kakak" atau apa gitu.

Dasar bocah kelas satu! Apa mungkin Nathan tidak tahu kalau David sudah kelas dua? Memang sih David kalah tinggi dari Nathan.



Tiba-tiba saja angin dingin bersemilir membuat seluruh tubuh David agak menggigil.



Tanpa diduga, ia merasa pundaknya jadi agak berat. Sebuah jaket kulit bertengger di tubuhnya.



David menoleh pada Nathan. Nathan hanya memandangnya dengan tersenyum.



David sempat terdiam ragu sebelum akhirnya mengucapkan kalimat terimakasih kepada Nathan.



Ternyata anak ini baik juga.



***



Arloji di tangan kiri David sudah menunjukkan pukul 15.20 waktu setempat.



Sekarang ia tengah berjalan menyusuri trotoar untuk menuju ke supermarket terdekat, melaksanakan tugas dari ibunya.



Tapi ketika ia melewati sebuah toko rental film, David menghentikan langkahnya. David sudah menjadi member di toko ini.



Sepertinya boleh juga jika ia mampir sebentar dan melihat-lihat.



David memasuki toko dan langsung disambut hangat oleh penjaga rental.



"David! Lama tidak kemari," ucap seseorang -berwajah tampan berambut agak gondrong- pada David. David mengenalinya sebagai Dann Hanafi. David sangat suka sekali dengan pria ini. Sikapnya yang selalu ramah, juga wajahnya yang menarik membuat siapa saja langsung akrab padanya. Dann sekarang sedang kuliah dan baru saja semester 3.



"Iya, Kak. Mau lihat-lihat saja. Siapa tahu ada film yang menarik."



"Ya sudah. Silahkan lihat-lihat dulu."



David hanya membalasnya dengan anggukkan.



Heuh! Dann selalu membuat jantung David tidak menentu. Memang sudah lama David suka pada Dann. Tapi tentu saja Dann pasti hanya menganggapnya sebagai teman.



David mulai melihat-lihat. Tak lama, matanya tertuju pada cover film yang berjudul "The Hunger Games".



Ini sepertinya film lama, tapi David belum pernah menontonnya.



Tiba-tiba David mendengar ada seseorang yang berbicara dengan Dann. Sepertinya costumer.



Iseng-iseng, David mengintip dari balik rak. Matanya terbelalak. Lho? Bukannya itu Nathan?



Karena penasaran, David agak mendekat supaya bisa menguping. Tapi ia tetap berada di balik rak.



"Mas, bisa daftar jadi member disini tidak?" tanya Nathan.



"Oh. Bisa sekali. Persyaratannya pas foto 3x4 2 lembar, fotokopi kartu identitas dan juga uang pembuatan kartu anggota," jawab Dann dengan ramah seperti biasa.



Nathan langsung mengeluarkan semua yang disebut oleh Dann. Sepertinya Nathan sudah mempersiapkan semuanya.



"Ini, Mas."



Dann memeriksanya lalu mengangguk.



"Nomer handphone-nya berapa, Mas? Buat data member," ujar Dann.



"0 8 5.. 7 3 5.....," Nathan menyebutkan nomer handphone-nya dua kali. Tanpa sadar, David menghafalkannya. Nomornya memang mudah dihafalkan.



Iseng-iseng, David mengeluarkan handphone-nya dan menyimpan nomor Nathan dengan nama Nathan Monyet.

Dalam hati, David tertawa saking senangnya. Ide usil pun berkelebat di benaknya untuk menjahili anak itu.



Saatnya jerawat pecah di hidungnya membalaskan dendam.

David tertawa dalam hati.

[Bersambung...]

Cinta Di Musim Hujan (boyxboy)Where stories live. Discover now