Jeanne sedikit mencondongkan tubuhnya, memiringkan kepalanya dan melihat wajah pria itu dari samping.
“Oh, jadi kau tidak tulus membuatkanku sarapan hari ini? Kau juga menyesal telah menjemputku dan mengantarkanku pulang semalam? Begitu maksudmu, Shawn?” nadanya provokatif.
Shawn menggeleng.
“Tidak. Tentu saja tidak, Je. Aku tidak pernah merasa seperti itu selama ini. Aku hanya ingin kau mengerti, bahwa aku tak pernah berhenti khawatir saat kau mabuk seperti semalam.” Jelasnya dengan lembut dan sabar. Jangan sampai Jeanne marah kepadanya.
Jeanne berdecih.
“Yeah, sure. You're always like that, aren't you?” Tambahnya, mengangguk mengejek.
Shawn terkekeh. Kemudian, saat keduanya sampai di ruang makan, Shawn perlahan menurunkan Jeanne dan membuatnya duduk di kursi meja makan yang membentang. Chandelier kristal di langit-langit berpendar lembut, menambah pantulan emas pada kayu tua yang mengkilap. Kursi-kursi ukiran berjajar rapi mengelilingi meja panjang seakan telah menunggu mereka datang.
Jeanne mencium aroma yang menggugah dari sajian masakan yang dihidangkan di atas meja. Selain terampil membuat tato, Shawn juga begitu terampil saat memasak. Karena pria itu berasal dari negeri ginseng, masakannya pun selalu autentik khas dari negara tersebut. Berbeda dengannya, yang lahir dan besar di New York.
Masih menggunakan apron di tubuhnya, Jeanne memperhatikan dengan seksama bagaimana Shawn menyajikan makanan untuknya. Saat mata coklat pria itu berbinar menyendok sup ke dalam mangkuk, juga saat gerakan tubuhnya yang mengambilkan hidangan lainnya untuk Jeanne lebih dulu. Ia memujinya.
“You look more handsome when you're focused like that.” Jeanne menumpu dagunya diatas meja, tatapannya lekat pada pria itu.
Shawn terlihat menelan ludah, ekspresinya lucu menahan gugup. Jeanne hampir tertawa, sikap pria itu berbanding terbalik dengan tubuhnya yang penuh tato. Ia seperti melihat beruang besar dari luar, tapi dari dalam—hatinya seperti tanaman putri malu. Lucu.
Shawn ikut duduk disamping Jeanne, berusaha menghilangkan rasa gugup itu dengan berdehem cukup keras.
“Aku tak ingin dengar pujian dari orang yang masih setengah mabuk. Sudahlah, lebih baik kau makan dulu.” Titahnya, lembut.
Jeanne hanya mengangkat bahu acuh, bibirnya turun ke bawah malas. Lagipula ia memang sangat lapar sekarang. Ia tak akan protes kali ini. Tapi, mengenai perkataannya, ia tak pernah bohong.
“Bahkan sebelum aku makan sup buatanmu ini, menghirup aromanya saja sudah cukup menyadarkan diriku, kau tahu?” Sahutnya sembari menyuapkan sup tauge pereda pengar itu lagi ke dalam mulut. Kaldu dari rumput laut supnya menambah rasa umami. Belum lagi tahu putih yang menjadi favoritnya dalam sup tersebut. Masakan Shawn perlu diacungi dua jempol.
Makanannya sederhana—tapi effortnya yang mahal.
“Your praise is my reward.” senyumannya mengembang, menunjukkan rasa senang dan mungkin sedikit malu juga.
****
Jeanne menganggur.
Selalu. Mungkin kata yang paling tepat untuknya adalah—bosan. Setelah sarapan bersama Shawn, ia tak punya kegiatan lain selain mungkin—menunggu pria itu pulang dari studionya nanti malam. Tapi itu masih terlalu lama. Jeanne butuh sesuatu untuk mengisi kekosongan harinya. Ia juga tak pernah betah berada di rumah itu.
Rumah yang terlalu megah disebut rumah—seperti selalu mengawasinya dari sudut manapun. Setiap jengkal lantai yang ia pijak di rumah itu seolah sedang memperingatinya akan sesuatu. Bahwa rumah yang ia tinggali, tak pernah mengizinkan orang asing untuk masuk. Terlebih orang asing itu adalah Shawn: pacarnya—yang juga simpanannya.
YOU ARE READING
SOMEONE ELSE
RomanceSetiap malam, Jeanne Louttie bekerja di balik cahaya bar untuk menutupi ketakutan yang tak pernah hilang: kesepian. Ia membiarkan siapa pun mendekat, selama mereka tak pernah benar-benar menyentuh hatinya. Shawn Lawrence memberi hangat yang tak bera...
02 - Question That Not Need To Be Asked
Start from the beginning
