Setiap malam, Jeanne Louttie bekerja di balik cahaya bar untuk menutupi ketakutan yang tak pernah hilang: kesepian. Ia membiarkan siapa pun mendekat, selama mereka tak pernah benar-benar menyentuh hatinya.
Shawn Lawrence memberi hangat yang tak bera...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
written by velvet
****
Jeanne perlahan mengerjapkan matanya, saat sinar matahari masuk lewat gorden kamar yang dibuka oleh seseorang. Tubuhnya menggeliat dan menggeram kecil saat merasa terganggu karenanya. Begitu mendapat kecupan singkat di kepalanya, Jeanne tahu siapa pelakunya. Siapa lagi yang akan membangunkannya selain Shawn.
Pacarnya.
“Wake up, Jeje.” Suara hangat itu semakin tak ingin membuat Jeanne beranjak dari ranjang tidurnya. Ia langsung menarik selimut sampai ke atas kepalanya. “1 hour more, please.” Suaranya masih serak, melanjutkan tidurnya yang sempat terganggu.
Shawn tertawa renyah mendengar itu.
“1 hour, huh?” Ia duduk di tepi ranjang, dan menarik ke bawah selimut yang menutupi perempuan itu sampai wajahnya terlihat.
Ternyata Jeanne tak benar-benar tidur. Ia sudah membuka mata sepenuhnya—menatap pria itu dengan berkedip malas. Jeanne menggeleng, tetap tak mau pergi dari ranjangnya. Namun, Shawn selalu punya cara. Ia pun menarik kedua tangan perempuan itu, tubuh Jeanne terlonjak saat ia langsung terbangun dan digendong di punggung lebar pria itu dengan sekali tarikan cepat.
Shawn perlahan berdiri, ia mengangkat sedikit tubuh Jeanne, memastikan kedua kaki perempuan itu erat di pinggangnya. Jeanne menghela nafas, tak ada yang bisa ia lakukan kalau sudah di gendong seperti ini. Lantas kepalanya ikut terbaring di pundak pria itu, sembari menghirup bau samar pakaiannya yang lembut.
“Apa menu sarapan pagi ini, Shawn?” Tanyanya, setengah menguap pelan. Jeanne tiba-tiba memejamkan mata karena aroma pria itu yang memabukkan. Ia bisa merasakan ritme langkah yang teratur.
“Kongnamul-guk, kimchijeon, dan kopi dalgona.” Jawab pria itu sambil menuruni anak tangga.
Luasnya rumah yang ditempati oleh Jeanne, membutuhkan waktu sedikit lebih lama bagi mereka berdua sampai di ruang makan. Yang dibagi secara terpisah dengan ruangan berjarak yang lainnya. Besarnya rumah itu, masih kerap membuat Jeanne merasa tak nyaman—karena rasanya begitu kosong. Lain saat ia dulu masih menempati studio kecil dengan ukuran ruangan 18-28 m².
Untungnya selalu ada Shawn disisinya.
“Tidak ada kimchi jjigae?” Protes Jeanne heran.
“Tentu saja tidak. Hari ini menu utamanya kongnamul-guk, untuk meredakan pengar mabukmu yang semalam itu.” Cibir Shawn.
Jeanne berdecak sebal.
Shawn mendesis pelan, seolah tak suka dengan nada yang Jeanne buat. “Siapa suruh kau mabuk begitu banyak semalam, huh? Aku juga kan yang repot harus memasak sarapan untukmu?” Protesnya giliran. Shawn sampai harus membuat pelanggan menunggunya kembali karena harus menjemput perempuan itu dulu di bar.