Junelith spontan menegakkan badan, menyimpan ponselnya seolah tidak pernah menyentuhnya. Ia menyampaikan poin seperlunya, tenang, jelas, seperti biasa. Tapi pikirannya jelas bukan di ruangan itu.

Begitu selesai berbicara, getaran ponsel datang lagi.

Kali ini telepon.

June menunduk, nama Cio kembali berkedip.

Ruangan rapat masih penuh suara kertas dibalikkan, proyektor berdengung, dan beberapa supervisor sedang saling bertukar catatan. Namun ketika June mendorong kursinya sedikit ke belakang, semua itu langsung meredup.

"Lanjutkan slide berikutnya, saya keluar sebentar."

Tidak ada yang berani bertanya kenapa.
Aura wibawanya membuat instruksi sekecil itu pun tak pernah dipertanyakan.

June bangkit, langkahnya stabil dan terukur, tapi ada urgensi samar yang terlihat dari cara jemarinya meremas ponsel di sisi tubuhnya. Begitu pintu rapat tertutup di belakangnya, seluruh suasana berubah. Dari ruangan penuh formalitas ke koridor yang lengang dan sunyi.

"Cio, kenapa, Sayang?" Suaranya kali ini berubah lebih rendah dan lebih lembut, seperti hanya Cio yang bisa mendengarnya.

Di seberang sana terdengar helaan napas manja bercampur rengekan kecil.

"June... gue nggak enak badan," suara Cio terdengar pelan, sedikit serak. "Pengen disuguhin semangka."

June menyandarkan punggungnya ke dinding koridor, menatap lantai seolah menahan tawa dan kekhawatirannya bersamaan. "Cio, kan di rumah ada Sus. Kamu tinggal bilang mau apa, ada ART yang belum pulang juga."

"Gue nggak mau Sus."

"Pengen Mas June."

Suaranya terdengar lembut, namun edikit memaksa, dan tentu saja membuat hati June melemah seluruhnya.

"Aku pulang setelah rapat selesai, ya? Sebentar lagi."

"Tapi Baby maunya sekarang," rengek Cio.

June memejamkan mata sebentar, merasakan sesuatu menghangat di dadanya. Rasanya seperti ditarik pulang oleh benang yang tidak terlihat.

"Cio..."

Ia mengatur nada suaranya agar tidak terdengar terlalu luluh. "Aku beneran harus balik ke meja. Tapi kamu tunggu aku sebentar, aku janji pulang lebih cepat."

"Ih, yaudah," balas Cio, terdengar seperti anak kecil yang menyerah karena tidak punya pilihan. "Tapi jangan lama, ya? Gue nggak betah di rumah, Sein nakal."

"Haha, iya, nanti Sein aku omongin. Sekarang kamu tiduran dulu, kalau nggak sabar nunggu aku bisa minta tolong Sus dulu ya, dah~"

"Hmmm, dah Papa~"

June menunduk dalam, menutupi setengah wajah dengan telapak tangan. Dunia seperti mengecil hanya mendengar suara itu.

Telepon berakhir.

June menarik napas panjang, berusaha mengembalikan ekspresi normal. Tapi bibirnya tetap terangkat.Tidak ada rapat di dunia ini yang bisa sepenuhnya mengalihkan perhatiannya ketika Cio memanggilnya seperti itu.

Dan tanpa ia sadari, langkahnya menuju ruang rapat terasa jauh lebih cepat karena satu-satunya hal yang memenuhi pikirannya sekarang hanyalah seseorang yang menunggunya di rumah dengan perasaan yang begitu manja dan membutuhkan dirinya.

***

Rumah sore itu tidak benar-benar bising, tetapi ada ketegangan kecil yang mengambang di udara.

Cio duduk di ujung sofa, memegangi bantal di pangkuannya, helaan napasnya terdengar lebih berat dari biasanya. Perubahan hormon membuat tubuhnya terasa ringan dan berat dalam waktu bersamaan, sementara emosinya bergerak naik-turun tanpa pola yang bisa diprediksi. Hari ini, rasa rindunya pada June datang dengan intensitas yang mengganggu.

Unread Affection (JICHEN)  ENDWhere stories live. Discover now