Di sebuah desa kecil, Anna menyimpan dendam yang membara. Dendam itu membawanya pada malam malam yang sunyi, rapat, dan penuh rahasia.
Namun takdir mempertemukannya dengan Sien Van den Berg -seorang laki laki bermata biru yang seharusnya menjadi mus...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
" Kapten sampai kapan kita harus terus menunggu? "
Van den Berg menatap Carl yang tampak tak nyaman, sedari tadi kakinya terus bergerak bermain dengan kaki meja dan kursi.
lekuk-lekuk air berwarna perak kusam. Deru roda pedati bercampur dengan hirup pikuk kanal, entah itu seorang Belanda yang sibuk mengatur muatan serta lajur kapal atau seorang pribumi yang terseok Seok atau seorang anak laki laki lusuh yang menengadah ditengah jembatan kecil - Van den Berg mangut mangut mengaminkan doa anak lusuh itu walaupun sendiri Nya tak tahu apakah anak itu berdoa atau tidak, dan jika anak itu berdoa kiranya Tuhan mana yang dia tuju?.
" Serdadu lain sudah siaga sersan?" Tanya nya. Membuat Carl memperbaiki postur duduknya.
" Mereka sudah siap sebelum si jago berkokok kapten. "
" Aku merasa aneh Carl, bagaimana kiranya cecurut cecurut itu tak datang."
" Kita hanya tinggal mencarinya sampai ke lubang tikus bahkan mungkin lubang jarum."
Van den Berg kembali meraih secangkir kopi yang mulai mendingin dilahap waktu, pria itu meminumnya seteguk demi seteguk, usai dengan kopinya Van den Berg tersenyum mantap, pikirannya melayang bebas terlempar pada isi sepucuk surat yang ditemukan Carl, ada yang janggal tapi ia tak tahu dimana letak anehnya. Rasa curiga memenuhi angannya.
" Duduklah Tirta Sampai kapan kapan kau akan menjadi patung penjaga? " Perkataan Van den Berg membuat Tirta menoleh, alis Tirta naik sebelah pertanda ia bertanya tanpa sadar.
" Tidak, lagipula memang ada tuan yang duduk semeja dengan budak?,jikapun ada saya tak ingin dianggap penjilat yang akrab dengan Belanda. "
" Padahal aku tak menganggap mu sebagai budak tapi apa boleh buat jika kau berfikir seperti itu "
Perkataan itu membuat Tirta menunduk, jujur saja hatinya tertohok. Merasa canggung Tirta mengalihkan pandangannya kearah deretan rumah panggung yang berjejer, sebagian yang dicat putih mulai mengelupas, sebagian lain dibiarkan dengan kayu asli yang sudah memudar dimakan usia.
" Carl menurutmu isi surat itu benar?, sejauh mata memandang di kanal ini tak ada hal yang mencurigakan. "
" Menurutku suasana disini tak ada yang janggal tapi ada baiknya jika kita ikut berpatroli. Mungkin jika kita menggali lebih dalam Kita akan mendapatkan kebenaran "
Van den Berg berdiri, ia mengusap rambutnya perlahan. " Baiklah ayo, lagipula aku sudah selesai memperhatikan sesuatu. "
Tirtayasa mengikuti langkah keduanya dengan pelan, perhitungan singkat ia terapkan dalam langkah untuk mendapat jarak yang sempurna sambil memperhatikan sekitar, entah kenapa hari ini hatinya terasa cemas.
Van den Berg mengikuti jalan setapak di kanan dan kiri jalan ada banyak jembatan batu setapak yang menghubungkan rumah panggung dengan jalan utama.