|Beberapa hal tidak pernah kembali, tapi kita belajar hidup dengan jejaknya yang tinggal|
Samuel Farin Ezra Urshia
♪♪♪
Aroma teh melati langsung menyambut Mezzaluna ketika ia membuka pintu rumah. Dari dapur, terlihat punggung seorang laki-laki yang familiar.
Melirik jam dinding— pukul lima lewat sepuluh menit, Mezzaluna berjalan mendekat ke dapur. “Kak El, udah pulang?”
Samuel Farin Ezra Urshia— sang kakak hanya mengangguk singkat sambil meletakkan cangkir pertama di hadapan adiknya yang sudah duduk manis.
Mezzaluna menyeruput teh hangat itu pelan, sementara Samuel ikut duduk di seberangnya.
“Gimana hari ini? Ada yang spesial?” tanyanya sambil meniup permukaan teh.
“Aku dipilih jadi vokalis band kelasan buat festival.”
Mezzaluna melirik kakaknya, pura-pura tenang padahal penasaran dengan reaksi Samuel.
Dan benar saja— Samuel tampak senang bukan main.
“Oh iya?! Wah, akhirnya temen-temenmu tau suara kamu.”
Sejak kepergian ayahanda, Samuel tahu Mezzaluna lebih banyak mengurung diri dalam dunia kecilnya—novel, gitar, dan keheningan.
“Gimana ceritanya kok mereka bisa pilih kamu?”
Mezzaluna langsung manyun, mengingat kejadian tadi.
“Kamu tau kan sahabatku yang sering aku ceritain itu. Kayanya dia emang orang paling rese sedunia.”
Samuel sampai cekikikan, hampir tersedak. “Kenapa dia?”
“Masa dia repost video aku lagi main gitar sambil nyanyi di taman. Katanya karena aku keras kepala banget dan susah dibujuk, makanya dia upload aja di Instar biar aku mau jadi vokalis pengganti.”
“Rese banget kan dia, Kak?”
Itu bagian yang Samuel suka— adiknya jadi lebih ekspresif semenjak berteman dengan Agista.
“Kayanya dia udah kenal kamu luar dalam. Tau kamu keras kepala, tapi juga tau kamu ga enakan.” Samuel tertawa kecil.
Mezzaluna menghela napas tapi tersenyum.
“Tapi tadi lumayan seru sih. Mereka sabar banget. Aku masih adaptasi, masih sering salah lirik sampai ngulang beberapa kali, tapi mereka tetep bilang gapapa, wajar belajar." Ia masih ingat bagaimana hangatnya dukungan mereka, terlebih Agista juga ikut menonton dengan tatapan bangga.
Baru sekarang Mezzaluna sadar… mungkin selama ini dia terlalu menutup diri. Dua tahun berjalan dalam kegelapan, meraba dinding kasar, padahal ada cahaya hangat di depan mata.
Samuel berdiri, beresin cangkir dan peralatan dapur lainnya, lalu melewati Mezzaluna menuju ruang tamu.
“Semangat buat kalian.” Ia menepuk pelan pucuk kepala adiknya— gestur kecil, tapi penuh kasih.
Samuel mulai merapikan dokumennya. “Besok aku ga bisa anterin belanja bulanan ya, Ca. Lagi hectic banget di kantor. Tadi aja pulang cepat gara-gara demo membludak. Takut pada ga bisa pulang.”
Mezzaluna mengangguk, paham… walau gengsi buat banyak nanya.
Samuel bekerja sebagai staff keuangan di perusahaan kecil. Biasanya pulang sebentar, terus lanjut kelas malam atau cuma healing tipis-tipis di cafe buat nyari referensi skripsi.
Ia jarang di rumah, tapi selalu menyempatkan diri buat mendengar cerita adiknya.
Atau hanya sekedar bertanya kegiatan sekolahnya.
“Aman, Kak. Kebutuhan kita juga ga banyak kaya orang lain, terus juga mini marketnya kan deket.” Ujarnya menenangkan.
Tapi kakak tetaplah kakak.
“Pulangnya aja deh aku jemput ya. Aku izin sebentar.”
“Gak usah, Kak El.”
Samuel langsung berhenti, menengok ke arah dapur. “Ya udah aku izin ga masuk kerja aja kalo gitu.”
“Mana bisa begitu. Perkara belanja bulanan doang loh, Kak…” Ternyata keras kepala memang gen mereka.
“Oke. Kamu pulang latihan jam lima kan? Nanti chat kalau udah sampai mini market.”
Samuel hapal jadwal baru adiknya itu. Festival akan membuat Mezzaluna pulang lebih lambat seminggu ini.
Biasanya ia selalu mendapat notifikasi pada pukul tiga, ketika adiknya sampai rumah. Hari ini ia tidak mendapati notifikasi apapun, karena dirinya yang lebih dulu tiba di rumah.
“Aku pergi dulu ya. Makan malam ada di lemari. Pintu jangan lupa dikunci. Aku bawa kunci cadangan, jadi ga usah nungguin aku pulang.”
Samuel tahu kebiasaan adiknya yang selalu menunggunya di ruang tamu dengan membaca novel-novelnya itu.
“Iya.”
“Jangan tidur terlalu malam. Fisik kamu lagi capek. Jangan dipaksa on terus.”
“Iya, Kak.”
“Kalo mau keluar, kabarin aku dulu.”
“Iyaaa…” Mezzaluna pasrah mendengar seribu larangan yang sama setiap sang kakak hendak pergi.
“Hmmm, apalagi ya—”
“Astagfirullah, udah Kak. Mending jalan aja, makin malam makin rame cafenya.” Keluhnya sambil mengusir halus.
Samuel cuma cengengesan. “Ya sudah, aku pergi ya.” pamitnya saat sepasang sepatu sudah terpasang rapi di kakinya.
“Hati-hati.”
Ketika pintu tertutup, Mezzaluna baru sadar sesuatu.
Samuel… sudah lama tidak membahas tentang suaranya. Bukan suaranya—nyanyiannya.
Wajahnya yang tadi bahagia… terselip sedikit sedih di dalamnya.
Ia tahu nyanyiannya membawa rindu yang menyakitkan. Rindu yang mungkin tidak akan sembuh. Atau mungkin… tidak akan sembuh selamanya.
Karena nyanyiannya adalah gema suara ayah mereka.
Teknik yang sama. Tarikan napas yang sama. Nada yang sama lembutnya.
Suara yang dulu memenuhi rumah dengan kehangatan.
Nyanyian yang menenangkan kekacauan.
Nyanyian yang menyapa pagi mereka.
Dan kini—suara itu hilang.
Pergi bersama matahari yang dulu menerangi rumah kecil mereka.
♪♪♪
|Kadang rumah bukan tentang siapa yang masih ada, tapi tentang suara yang tetap kita jaga dalam diam|
Mezzaluna Farra Lucy Urshia
YOU ARE READING
A͟k͟s͟a͟r͟a͟ ͟&͟ ͟C͟o͟d͟a͟
Teen FictionDalam setiap aksara yang ditulis takdir, ada satu coda yang menutup segalanya. Bagi Aksara, coda-nya bernama Mezzaluna-gadis dengan senyum lembut yang hadir lewat melodi sederhana, namun meninggalkan gema paling panjang di hidupnya. Dari pertemuan y...
