Binar sore menetes dari jendela, merambat di gaun putih yang mulai kusut. Di ruangan itu, segala sesuatu seolah berhenti tepat di antara satu tarikan napas dan yang berikutnya. Jam dinding tak berdetak, tirai menggantung tanpa arah, dan udara membawa wangi halus seperti buku yang sudah terlalu lama disimpan, menyimpan sesuatu yang tak ingin ditemukan.
Lyra duduk bersandar di sisi tempat tidur. Gaunnya berat oleh waktu, tapi netranya ringan, jernih, seperti menatap hal yang tak kasatmata. Lelaki itu, Eiden, menatapnya dari dekat. Kulitnya pucat seperti binar purnama yang lupa pulang. Di pangkuan mereka, seekor kucing besar berwarna madu terlelap, bulunya berkilau dalam cahaya lembut.
Tak ada yang bicara. Sebab dalam diam, kadang cinta paling utuh mengungkapkan dirinya.
"Aku takut jika pagi datang, semuanya akan hilang," ucap Lyra lirih. Suara itu rapuh, seperti sayap serangga menyentuh kaca.
Eiden tersenyum tipis. "Maka biarkan malam sedikit lebih lama."
Ia mengulurkan tangan, menyentuh pipinya, sentuhan yang lebih menyerupai ingatan daripada kenyataan. Kucing itu bergeser, lalu diam lagi, seolah tahu betapa rapuhnya dunia tempat mereka duduk saat ini.
Di luar, nabastala mulai kehilangan warnanya. Dan di dalam, dua manusia menunggu, bukan akhir, tapi momen ketika cinta dan kehilangan akhirnya berdamai.
YOU ARE READING
When the Light Reluctantly Returns
Short StoryMereka tidak sedang berpose. Mereka hanya diam, seolah waktu menahan napas di hadapan dua jiwa yang belum selesai berpamitan. Di antara renda, tatapan, dan seekor kucing yang setia, hidup dan mati tak lagi punya garis. Yang tersisa hanyalah api keci...
