Tae-min menatap Carmen tajam. “Kamu ini pinter ngomong karena jurusan kamu Seni Rupa, bukan Informatika.”

Carmen tertawa. “Dan kamu jago ngeles karena jurusan kamu Event Management.”

“Touché,” gumam Tae-min.

Kafe mulai sepi. Lampu kuning redup menambah suasana hangat. Dari luar jendela terlihat beberapa mahasiswa lain masih berlatih di lapangan untuk parade festival. Sorot lampu sorot menembus kaca, menciptakan refleksi di meja tempat mereka duduk.

Juun menatap pantulan dirinya di layar laptop. “Kamu pernah ngerasa capek gak, Tae-min?”

Tae-min menoleh. “Capek gimana?”

“Ya, kayak semua orang punya tujuan jelas. Tapi aku kadang ngerasa jalan di tempat. Coding, belajar, ngerjain proyek tapi gak tahu arahnya.”

Tae-min menatapnya serius. “Aku juga sering gitu. Tapi menurutku, kadang kita gak harus tahu arah pasti buat terus jalan. Kadang yang penting cuma bareng siapa kita jalannya.”

Juun menatapnya lama. “Itu kedengarannya kayak kalimat di drama romantis.”

“Dan salahnya di mana?”

“Salahnya kamu ngomongnya ke orang yang alergi drama.”

“Lucu. Padahal kamu justru karakter utama yang cocok di drama kampus.”

“Please deh, aku ini NPC aja cukup.”

Ian menghela napas sambil menutup laptopnya. “Kalian berdua tuh kalo dijadiin film bisa jadi genre baru: rom-com tentang bug.”

Carmen menimpali. “Judulnya ‘Syntax & Feelings’.”

Semua tertawa. Bahkan Juun yang biasanya kaku ikut tersenyum.

Waktu terus berjalan. Jam menunjukkan pukul 11 malam. Kafe mulai menutup. Barista memberi isyarat.

“Waktunya pulang, guys. Besok masih panjang.”

Tae-min berdiri, meregangkan badan. “Kopi terakhir, ya. Besok aku traktir kalian di stand festival.”

“Beneran?” tanya Carmen.

“Serius. Tapi kalian bantu promosi website pendaftarannya, oke?”

Ian mengangkat alis. “Udah jadi, kan?”

“Udah,” kata Juun sambil menutup laptop. “Aku upload malam ini. Server-nya stabil.”

“Hebat,” puji Carmen. “Kamu emang backbone-nya tim ini.”

Juun menunduk kecil. “Ah, biasa aja. Kalau gak ada kalian, aku gak mungkin semangat juga.”

Saat mereka berjalan keluar kafe, udara malam terasa lembut. Lampu jalan memantulkan cahaya oranye di trotoar. Dari kejauhan terdengar suara musik dari latihan band Yuha dan Ye-on di gedung musik.

Tae-min melangkah di samping Juun. “Kamu tahu, aku suka malam kayak gini.”

“Kenapa?”

“Soalnya semuanya tenang. Dan aku bisa lihat orang-orang yang penting buatku masih di sini, walau capek, masih jalan terus.”

Juun menatap langit. “Kamu ngomong kayak penyair, padahal besok kamu bakal panik lagi kalau sistemnya error.”

“Ya iyalah,” katanya sambil tertawa. “Aku bukan penyair, aku manusia.”

“Dan manusia banyak bug-nya,” balas Juun.

“Tapi bedanya, bug manusia bisa diperbaiki kalau mereka mau denger satu sama lain.”

“Hmm…” Juun tersenyum pelan. “Mungkin kamu gak sepenuhnya bodoh soal logika.”

“Akhirnya diakui juga,” kata Tae-min puas.

Mereka berdua berjalan bersama melewati taman tengah kampus. Lampu taman berkelip pelan, dan di kejauhan terlihat banner besar bertuliskan “Haneul University Festival A Celebration of Dreams.”

Ian dan Carmen sudah berjalan duluan, bercanda soal desain booth masing-masing. Juun memperlambat langkahnya, menatap laptop di tangannya, lalu menatap Tae-min.

“Hey.”

“Hm?”

“Thanks udah bantu hari ini.”

Tae-min tersenyum lembut. “Sama-sama. Aku juga senang bisa kerja bareng kamu.”

“Meski kamu bikin bug lima kali?”

“Lima kali doang? Rekor baru tuh.”

Mereka tertawa lagi. Suara tawa mereka bercampur dengan desir angin malam dan gemerisik daun.

Juun menatap lampu yang berkelip di kejauhan. Dalam hati, ia merasa aneh bukan karena lembur atau kopi yang kebanyakan, tapi karena ada rasa tenang yang sulit dijelaskan.

Bukan romantis, bukan juga kagum. Hanya pengertian yang tumbuh perlahan.

Malam itu, sebelum semuanya bubar, barista keluar dari kafe dan melambaikan tangan. “Semangat buat festivalnya, ya! Dan tolong, jangan begadang lagi di meja yang sama.”

Tae-min menepuk dada. “Janji, kak!”

Juun menggeleng pelan. “Kamu bakal balik lagi besok malam, aku yakin.”

Tae-min menatapnya dengan senyum nakal. “Kalau kamu di sini, iya.”

Juun hanya tersenyum kecil, menatap bintang di atas langit Haneul yang mulai memudar karena cahaya kampus.

Dan di situlah, di antara kopi yang hampir habis dan layar laptop yang mulai redup, dua mahasiswa dengan jalan berbeda menemukan satu hal yang sama, Bahwa kadang kehangatan tak selalu datang dari cinta, tapi dari kerja keras yang dibagi bersama di bawah cahaya malam yang lembut.

Autumn Notes at Haneul University 2: DivideWhere stories live. Discover now