Suara hujan mengetuk lembut jendela kamar Juun malam itu, seperti ritme kode yang tak berujung. Di layar laptopnya, baris-baris teks hijau bergulir, membentuk pola yang hanya bisa dimengerti olehnya. Lampu meja menyinari wajah gadis berambut hitam legam dengan poni yang menutupi separuh matanya.
Ia mengetik cepat, lalu berhenti sejenak. “If… connection == true, then… print(‘hello world’)” gumamnya pelan. Lalu ia tertawa kecil sendiri. “Seandainya hubungan antar manusia semudah itu.”
Kamar Juun kecil, tapi tertata rapi. Di dinding ada beberapa poster game indie dan papan catatan berisi ide proyek: AI Emotional Bot, Virtual Journal, Dream Analyzer. Di atas meja ada mug bertuliskan Code, Coffee, Repeat.
Dari luar, terdengar suara ibu memanggil lembut. “Juun, sudah makan malam?”
“Belum, sebentar lagi!” jawabnya sambil menekan tombol “save.”
Ia menutup laptop dan turun ke ruang makan. Ayahnya, seorang programmer senior yang bekerja dari rumah, sedang membaca berita teknologi di tablet. Ibunya, seorang penulis novel, duduk di seberang, menatap layar laptop dengan wajah fokus.
“Kau menatap layar lagi,” kata sang ayah tanpa mengangkat kepala.
Juun tersenyum kecil. “Kita satu keluarga kok, semuanya cinta layar.”
Ibunya terkekeh. “Setidaknya aku masih menulis tentang manusia. Kau menulis tentang mesin.”
“Mesin juga punya perasaan, Ma, kalau kodenya benar,” balas Juun sambil menuang sup hangat ke mangkuknya.
Ayahnya menatapnya sejenak. “Bagaimana kabar pendaftaran kampus?”
“Sudah fix, aku diterima di Haneul University, jurusan Informatika.”
Ibunya menatapnya bangga. “Kau akhirnya akan ke Seoul.”
“Tapi agak menakutkan juga,” ujar Juun pelan. “Kau tahu kan, aku nggak terlalu pandai bergaul.”
Ayahnya tersenyum. “Juun, bahkan di dunia digital pun kau punya banyak koneksi. Kau hanya perlu memindahkan sebagian koneksi itu ke dunia nyata.”
Ibunya menambahkan, “Dan jangan lupa, kehidupan nyata tidak ada tombol undo.”
Juun tertawa kecil. “Sayangnya begitu.”
Setelah makan malam, ia kembali ke kamarnya. Lampu jalan di luar memantulkan bayangan biru di dinding. Ia membuka laptop dan masuk ke forum online tempat ia sering menghabiskan waktunya. Nama penggunanya: JHeart.
Pesan baru muncul.
From: ByteFox
“Kau bilang mau ke Seoul? Mungkin di sana, koneksi kita jadi nyata.”
Hatinya berdetak aneh. ByteFox teman online-nya selama dua tahun terakhir. Mereka saling berbagi proyek, bercanda lewat chat, tapi belum pernah bertemu. Ia bahkan tak tahu nama asli orang itu.
Juun mengetik balasan pelan.
“Aku masih belum yakin. Dunia nyata lebih rumit dari baris kode.”
Balasan muncul tak lama kemudian.
“Kau hanya butuh compile ulang caramu berpikir.”
Ia tertawa kecil membaca itu. “Dia selalu punya cara bicara seperti itu,” gumamnya. Tapi kemudian tatapannya melembut. “Compile ulang caraku berpikir, ya”
Ia menatap layar lama, lalu menulis pesan terakhir sebelum menutup laptop.
“Kalau koneksi kita benar-benar nyata, mungkin suatu hari aku akan mengenalmu bukan hanya lewat layar.”
Beberapa hari berikutnya, hidup Juun diisi dengan persiapan keberangkatan. Ia mengemas laptop, alat coding favorit, dan tumpukan buku catatan berisi sketsa program. Namun di sela kesibukan itu, rasa gugup mulai muncul.
Di sebuah forum kampus, ia bergabung dalam grup calon mahasiswa Haneul University.
Postingan pertamanya sederhana:
“Ada yang tahu asrama cewek seperti apa? Aku agak gugup karena belum pernah tinggal jauh dari rumah.”
Beberapa menit kemudian, balasan muncul dari akun bernama IanParkOfficial.
“Asrama cewek aman. Tapi jaringan internetnya kadang lemot. Siap-siap frustrasi.”
Juun membalas spontan.
“Aku lebih takut nggak punya teman daripada koneksi lambat.”
Balasan cepat datang.
“Kalau begitu, aku bisa jadi teman pertamamu. Tapi aku nggak bisa bantu soal Wi-Fi.”
Ia menatap layar dengan wajah memerah. “Ian Park? Nama itu kayaknya populer di forum musik,” gumamnya.
Lalu pesan lain masuk dari ByteFox.
“Siapa Ian itu? Aku lihat kau aktif di forum lain.”
Juun menatap pesan itu lama. Hatinya terasa aneh, seperti campuran cemburu, bingung, dan senang. Ia mengetik cepat.
“Hanya teman forum. Aku akan segera ke Seoul.”
“Baiklah,” balas ByteFox. “Kalau begitu, sampai jumpa di dunia nyata, mungkin.”
Malam itu, Juun duduk di balkon kecil apartemen sambil memegang secangkir teh hangat. Angin malam meniup lembut rambutnya. Ia menatap langit yang dipenuhi titik cahaya samar.
“ByteFox siapa pun kamu, terima kasih sudah menemaniku sejauh ini,” bisiknya.
Hari keberangkatan pun tiba. Ayahnya membantu mengangkat koper, sementara ibunya menyiapkan bekal kecil di tasnya.
“Jangan lupa makan,” pesan ibunya.
“Aku bukan anak kecil lagi,” kata Juun sambil tersenyum.
“Tapi kau tetap anak kami,” jawab sang ayah sambil mengacak rambutnya.
Di kereta menuju Seoul, Juun menatap layar laptopnya. Ia membuka folder yang berisi proyek-proyek lamanya bersama ByteFox. Ada file terakhir yang belum selesai, berjudul “BinaryHeart.py.”
Ia membuka file itu dan membaca komentar di dalam kode:
“If connection is real, then maybe, someday, we’ll meet.”
Senyumnya muncul pelan. Ia menambahkan satu baris di bawahnya.
“Else, I’ll still be grateful for what we built together.”
Kereta berhenti di stasiun utama Seoul. Orang-orang berlalu-lalang dengan koper besar, suara pengumuman menggema, dan aroma kopi menguar dari kafe terdekat. Juun melangkah pelan, memeluk laptopnya erat. Dunia baru menunggu.
Saat ia menatap ke luar jendela terminal, layar ponselnya bergetar. Notifikasi dari ByteFox muncul lagi.
“Good luck, JHeart. Build your world line.”
Ia membalas singkat.
“Thanks, ByteFox. I will.”
Di matanya, dunia luar tampak besar dan sedikit menakutkan, tapi juga indah.
Ia menarik napas panjang, lalu tersenyum. “Aku akan belajar bukan cuma menulis kode,” ucapnya pelan, “tapi juga membuka diri.”
Langit sore Seoul berwarna oranye muda. Juun berjalan keluar stasiun dengan langkah hati-hati tapi pasti.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak sedang menghubungkan baris kode, tapi sedang mencoba menghubungkan dirinya dengan dunia.
YOU ARE READING
Autumn Notes at Haneul University 2: Divide
FanfictionSemester baru dimulai di Haneul University, tapi suasananya tak lagi sama. Setelah masa-masa tawa dan hangat di tahun pertama, kehidupan kampus berubah menjadi babak yang jauh lebih kelam dan penuh ketegangan. Di tengah musim panas yang terasa menye...
