"Berjanji?" Halwa mendengus sinis. "Kehangatan itu lenyap, Mas. Semua yang dulu aku rasakan padamu hilang. Apalagi setelah kamu-"
"Stop!"
Di tengah pecahan kaca, foto yang rusak dan cinta yang berubah menjadi luka, pertengkaran itu menegaskan satu hal yang tidak bisa ditarik kembali. Rumah mewah itu tidak lagi berisi keluarga. Hanya kenangan pahit yang terpatri di setiap sudutnya. Lingga berjalan. Memijak pecahan kaca yang mungkin bisa melukai kakinya. Tatapnya tenang. Tidak terbaca. Melerai teriakan yang masih saling beradu di sana. Bukan karena sayang pada kedua orang tuanya, tapi karena ketenangannya yang terganggu. Lingga hanya tidak ingin waktu liburnya terbuang sia-sia.
"Bisa nggak kalian diam?"
Lingga semakin mendekat ke arah keduanya. Ke arah sepasang suami istri yang sedang berseteru. Ke arah orang tuanya yang tidak pernah sadar telah menjadi orang tua.
"Aku pulang ke sini karena mau istirahat. Mau liburan. Bukan lagi lagi harus dengar kalian bertengkar. Adu teriak. Saling tunjuk-tunjukan siapa yang paling bajingan."
"Jaga bicara kamu, Lingga!" tegur Diasa tegas pada anak sulungnya itu.
Lingga memang memiliki sifat yang sama persis dengannya. Tidak mau kalah. Bicara seenaknya. Berani pada siapa pun termasuk ayahnya sendiri.
"Kenapa? ada yang salah dari omonganku?"
"Rumah ini akan tenang-tenang aja kalau papi kamu nggak mulai duluan! Kalau dia nggak menghianati mami, semua akan baik-baik aja, Dha!" Halwa bersuara. Menunjukkan jari tepat di depan wajah suaminya.
Diasa tertawa sumbang. Sedetik kemudian rahangnya mengeras. Merasa dipermalukan di depan anaknya. "Kamu yang jalang! Kenapa malah nuduh saya penyebab kehancuran?"
Halwa melesatkan tamparan ke pipi suaminya keras. "Jangan asal ngomong kamu, Mas!"
"Mi!"
Kompak ketiganya menoleh ketika ada suara lain mengintrupsi. Sean berlari cepat dari lantai atas. Sadhana memejamkan matanya. Menahan emosi. Jika saja ia tidak ingat kalau kedua orang dewasa di hadapannya adalah orang tuanya, mungkin sudah ia layangkan pukulan.
Akkhhh
"Bang!"
"Sean!"
Halwa berlari menghampiri Sean yang berhenti di ujung tangga setelah kakinya tidak sengaja menginjak pecahan peling. Pun Gyandra yang berlari dari lantai dua. Anak itu sudah menahan Sean agar tidak keluar kamar. Namun, apa daya, di luar semakin gaduh dan Sean pun tidak bisa dilarang lagi.
"Bi!! Tolong ambilkan obat merah!" Halwa masih berteriak dengan sisa air mata di pipinya. Wajahnya berubah pucat dan panik saat melihat banyak darah berceceran dari luka terbuka di tumit putranya. "Maafin mami, Yan," ucapnya tersedu. Penuh sesal. Bagaimana pun, pecahan beling yang melukai Sean Adalah ulahnya.
"Gue udah bilang buat nggak keluar. Kenapa susah banget dibilangin?" Lingga meremas lengan Gyandra saat sudah berada di dekat mereka.
"Gue udah nyegah, tapi dia tetep mau keluar, Bang."
Lingga menghela napas kasar. Semakin pusing dengan situasi ini. Niatnya ingin beristirahat dengan nyaman di masa liburannya, malah berakhir harus menyaksikan drama rumah tangga yang paling ia tidak suka.
"Kalau kamu nggak egois dan terus-terusan menyalahkan aku, ini semua nggak akan terjadi, Mas!" bentak Halwa sembari menatap nyalang Diasa. Laki-laki yang masih berstatus suaminya.
"Oh, jadi sekarang kamu menyalahkanku karena anak kita terluka?" suara Diasa meninggi. "Kamu yang melempar vas itu, Halwa!"
"Cukup!" Lingga kembali berteriak. Melerai keduanya. Kepalanya akan meledak jika mereka terus menerus berteriak seperti ini.
"Langsung aja, mau kalian apa?" tegasnya penuh penekanan.
"Bang, nggak-"
"Lo diem!" bentak Lingga saat Sean mulai ikut bicara.
Halwa menatap anak sulungnya itu dengan wajah terkejut. "Ngga, jangan ikut campur-"
"Bukan aku yang ikut campur. Kalian yang selalu menyeret kami ke dalam pertengkaran kalian," Lingga menatap mereka satu per satu. "Kalau kalian mau cerai, ya udah langsung aja. Jangan terus-terusan ribut nggak jelas, berantakin rumah, rusakin barang."
Halwa menunduk, mulai menangis. Isaknya terdengar jelas di tengah ruangan yang tiba-tiba hening.
"Kamu nggak tau rasanya-"
"Tau, Mi. Apa yang aku nggak tau? aku udah cukup besar buat ngerti kejadian dulu. Mami nangis tiap malam. Papi makin diam. Kalian makin jauh, sibuk sendiri. Dari dulu, rumah ini penuh kebohongan. Semuanya saling diam seolah nggak terjadi apa-apa sampai akhirnya kita nggak lagi terlihat seperti keluarga. Jadi, apa lagi yang ditunggu? Kalian masih bareng-bareng itu buat apa?"
Diasa menatap lantai, wajahnya tampak lelah, pasrah. "Mungkin Sadha benar," katanya pelan. "Mungkin sudah waktunya kita berhenti pura-pura."
Halwa menatapnya tajam. "Maksud kamu apa, Mas?"
"Aku mau kita pisah, Halwa," kata Diasa tegas tapi tenang. "Dari pada terus menyakiti satu sama lain."
Kata-kata itu jatuh seperti batu ke dalam air - tenang di luar, tapi menghantam dasar hati semua yang mendengarnya.
"Enggak," Sean bersuara. Pendarnya bergetar. Takut. Khawatir rumahnya yang ia harapkan dapat kembali hangat, malah semakin jauh dari jangkauan. "Kalian bisa omongin baik-baik. Mi, ayok ke kamar. Mami Cuma butuh cooling down. Papi juga, nanti aku suruh Bi Tia buatin kopi."
Sean berusaha bangun walau Halwa dan Gyandra menahannya. "Ayok, Ndra. Bantuin gue jalan ke kamar. Lo juga, Bang. Jangan ada yang di sini, kita semua butuh tenang, baru nanti ngobrol bareng-bareng."
"Sean, maafin papi. Papi rasa ini memang keputusan yang-"
"Enggak! Udah stop, jangan dilanjutin!" sergap Sean cepat. Ia tidak mau. Sampai kapan pun ia tidak mau kedua orang tuanya berpisah.
"Besok aku akan urus semua berkas, Halwa. Tidak ada perebutan hak asuh di sini, Lingga ikut saya, Sean bisa ikut kamu. Saya akan tetap bertanggung jawab atas kalian," Diasa yang terlanjur kalut tidak mendengar kata-kata penenang anaknya.
Ia sudah memutuskan untuk berpisah dengan wanita yang telah 22 tahun bersamanya. Rumah tangga mereka telah hancur. Sebelum semuanya rusak, ia harus menyelamatkan satu per satu anggota keluarganya.
Lingga tidak terkejut. Mungkin ini memang akhir yang sudah lama menunggu.
"Pi, please...."
"Bang, ayo ke kamar. Darah lo makin banyak," kini Gyandra turut bicara.
Anak itu tidak ikut masuk dalam pertengkaran. Ia tidak ikut memberikan pendapatnya. Ia tidak ikut menghentikan pertengkaran kedua orang tuanya. Ia hanya berdiri di sana, mendengar semua, sampai Bi Tia datang dan memberikan kotak p3k untuk mengobati luka Abangnya.
"Tunggu gue di kamar, jangan ke mana-mana," titah Lingga.
Gyandra hanya mengangguk sembari membopong Sean menuju kamarnya di lantai dua setelah lebih dulu mengikat luka abangnya dengan perban seadanya.
Sementara Lingga, ia menatap punggung kedua adiknya yang semakin menjauh. Ia melihat kesedihan di mata Sean dan kehampaan di mata Gyandra. Ia tahu apa yang adik bungsunya rasakan tanpa perlu anak itu utarakan.
"Silakan urus secepatnya. Kami bertiga nggak akan ada yang ikut siapa-siapa."
Lingga pergi meninggalkan kedua orang tuanya dengan cepat menuju lantai dua. Walaupun selama ini presensinya sangat jauh dari kata ada, ia tetaplah sulung di keluarga. Ia merasa harus bertanggung jawab atas semuanya.
☘☘☘
Halooo gimana gimana???
Masih aman yaaa?
Sorry bangeet ada perubahan nama hehehe
YOU ARE READING
● ASHES ●
General FictionSebangsa perkutut telah berkelana mencari penyambar tinta dengan paruhnya yang menganga. Dia yang masih abu-abu tak terliputi jingga. Pemegang cerutu berdebu yang menutupi kelamnya duka. Walau tak selamanya duka dibawa. Ia hanya ingin dipertemukan...
■ Prolog ■
Start from the beginning
