Sebangsa perkutut telah berkelana mencari penyambar tinta dengan paruhnya yang menganga. Dia yang masih abu-abu tak terliputi jingga. Pemegang cerutu berdebu yang menutupi kelamnya duka.
Walau tak selamanya duka dibawa. Ia hanya ingin dipertemukan...
Oops! Ang larawang ito ay hindi sumusunod sa aming mga alituntunin sa nilalaman. Upang magpatuloy sa pag-publish, subukan itong alisin o mag-upload ng bago.
Lingga berdecak dan meletakkan stick play station yang sedang ia mainkan dengan kasar saat mendengar kegaduhan di luar. Ia lantas bangkit dari kasurnya dan berjalan cepat keluar dengan emosi yang siap meledak. Baru satu hari ia berada di rumah. Telinganya sudah panas dan semakin tak betah.
"Bang...."
Lingga menoleh sebentar saat pintu kamar di sebelahnya juga terbuka. Gyandra keluar dari dalam, menyembulkan kepalanya. Tatapan mata anak itu penuh tanya.
"Tunggu di dalam nggak usah keluar," perintahnya tegas.
Ia melanjutkan langkahnya. Turun ke lantai bawah.
Tidak terkejut saat menemukan dua orang yang mewarisi darah padanya terlibat percekcokan. Ia tak habis pikir, bagaimana dua orang di hadapannya kini bisa bersatu sebagai sepasang suami istri hingga memiliki 3 orang anak. Tidak pernah hidup rukun. Tidak pernah mengurus ia dan adik-adiknya. Tidak pernah mencontohkan hal-hal baik. Tidak ada satu pun peran orang tua yang mereka jalankan selain mengirimkan uang.
"Kali ini kamu sudah melewati batas, Halwa! Sudah berapa kali kamu tidur dengan laki-laki itu?!" suara Diasa parau. Penuh emosi dan keegoisan. Tangannya mengepal. Bergetar.
Halwa maju, wajahnya menengadah. Menantang Diasa dengan bara yang menyala. "Ngaca kamu, Mas!"
"Jangan sok suci! Kamu pikir siapa yang mulai duluan?! Kamu pikir aku begini karena siapa?!" teriakan Halwa terdengar memekakan telinga.
Diasa meremas pelipisnya, frustasi. "Aku melakukannya karena kamu mengabaikan aku. Kamu selalu pergi dengan teman-temanmu. Liburan, nongkrong, pesta. Kamu bahkan tidak pernah ada dan melayani layaknya seorang istri ke suaminya, Wa!"
Vas bunga porselen pecah berantalan ketika Halwa menyambar dan melemparnya ke sudut ruangan.
"Aku pergi karena aku hampir gila, Mas! Kamu pikir mudah mengurus dua anak sendirian?! Sadha sedang nakal-nakalnya. Arkel mengidap AML saat itu. Aku sendirian menghadapi semuanya, sementara kamu entah di mana!"
Diasa menatapnya tidak percaya. "Aku bekerja! Siang malam! Aku mati-matian mempertahankan perusahaan papa yang hampir gulung tikar waktu itu! Aku mencari uang untuk pengobatan Arkel, untuk kebutuhan kalian yang begitu mahal. Untuk mempertahankan kemewahan yang kamu nikmati selama ini. Aku bekerja untuk kebahagiaan kalian!"
Halwa menggeleng keras. Air mata akhirnya tumpah. "Kamu bekerja untuk siapa, Mas? Bahagia mana yang kamu maksud?! Saat aku harus memeluk Arkel yang menangis kesakitan. Saat aku harus bertahan dengan Sadha yang memberontak karena merasa kurang perhatian. Saat aku butuh sandaran, kamu malah mengkhianati aku!"
Sebuah bingkai foto keluarga terhempas ketika Halwa menyambar dan melemparkannya ke lantai. Potret kebahagiaan mereka retak berkeping-keping.
Diasa membalas dengan suara yang semakin meninggi. "Kita sudah sepakat melupakan masa lalu itu! Perselingkuhan itu sudah selesai. Kita sudah berjanji untuk memulai semuanya dari awal!"