Timeout - Code99

20 3 0
                                        

Langit malam itu pekat sekali. Hitamnya tidak biasa, seperti ditimpa selimut kabut yang bikin pandangan cuma mentok lima langkah ke depan. Suara jangkrik yang tadi sore masih ribut... mendadak hilang total. Sunyi. Bahkan suara dedaunan yang gerak kena angin pun nyaris nggak kedengeran. Udara yang tadinya cuma dingin khas pegunungan, sekarang berubah jadi dingin yang... gak masuk akal. Kaya dingin yang bawa firasat buruk.

Di sudut pos tua, Elzora duduk sendirian. Posisinya agak menjauh dari yang lain. Matanya merah, sembab. Tatapannya kosong, kaya lagi mikirin ribuan kemungkinan buruk yang bisa aja kejadian kapan aja. Tangannya masih megang batu kecil—batu yang tadi dia liat sendiri disusun rapi jadi tulisan: “Next: Elzora.”

Batu itu dia puter-puter di telapak tangan, kayak lagi nyari jawaban. Tapi... yang ada cuma hening.

Dari belakang, Liano pelan-pelan nyamperin. Gak banyak suara, cuma suara langkahnya ngeresek di tanah kering. Dia duduk di samping Elzora, dengan jarak setengah meter, cukup deket buat kasih rasa aman tapi gak nyekik.

“Lo harus makan dulu, Ra...” Suaranya pelan, tapi nadanya tegas.

Elzora gak langsung jawab. Tatapannya masih ngarah ke depan, ke lahan kosong yang mulai ketutupan kabut. Tapi beberapa detik kemudian, suaranya keluar—pelan, parau, dan berat.

“No... lo percaya... kalo kita nggak semua bakal balik hidup-hidup?”

Liano diem. Matanya ngelirik ke arah api unggun yang udah tinggal nyala kecil, nyaris mati. Napasnya ditarik panjang sebelum akhirnya jawab.

“Gue gak tau harus percaya apa sekarang. Jujur aja... semua hal yang dulu gue pikir cuma ada di film, sekarang numpuk di depan mata. Tapi satu hal yang gue yakin...” Dia noleh ke Elzora, matanya dalem banget. “Selama gue masih di sini... gue bakal pastiin lo aman. Gue gak akan ninggalin lo.”

Elzora cuman bisa narik napas berat. Tangannya mulai gemeter, tapi dia genggam batu itu makin erat.

—————

FLASHBACK ON

Beberapa jam sebelumnya...

Waktu semua lagi panik gara-gara suara Elsea dari radio, Yolia sempet ngelirik ke sesuatu, kaca kecil retak yang mereka temuin tadi siang, waktu nemuin kalung Reina tertancap di pohon.

Dia pegang kaca itu pelan-pelan. Awalnya cuma liat pantulan pohon dan dirinya sendiri. Tapi... dalam pantulan itu, tiba-tiba muncul Reina.

Tapi... bukan Reina yang sekarang.

Reina yang di kaca itu... adalah Reina yang mereka kenal. Reina yang asli.
Rambutnya acak-acakan tapi ada senyum khasnya. Matanya berbinar. Dan yang paling bikin Yolia gak bisa salah liat... luka kecil di pipi kanan. Luka yang Reina dapet dua tahun lalu, pas jatuh dari batu waktu hiking bareng mereka.

Reina disitu... senyum. Tapi senyumnya sedih.

Yolia langsung reflek narik napas cepat, jantungnya berdebar. Dia noleh ke samping, narik lengan Javin.

“Vin... liat ini. Gue... gue gak halu kan?”

Javin, yang dari tadi diem dengan rahang ngunci, langsung nengok ke kaca itu. Matanya langsung membesar.

“Gila... Yolia... itu...” Suaranya berat, nadanya gemetar. “Itu... Reina yang asli. Lo liat kan? Luka di pipinya...”

Yolia angguk cepat, matanya berkaca-kaca. Tangannya gemeter waktu megang kaca retak itu.

“Gue... gue udah ngerasa dari kemarin. Yang balik ke camp itu... bukan dia. Vin... itu bukan Reina.”

Javin langsung berdiri, napasnya berat.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 30 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

CODE99Where stories live. Discover now