Prolog

106 36 2
                                        

Happy Reader

MILAN, ITALY

Hujan rintik menuruni kaca besar mansion D'Amore, menciptakan bayangan suram di ruangan itu. Lampu kristal berkilau redup, seakan menambah kesan mencekam pada pertemuan malam ini.

Dua cucunya, berdiri tegak di hadapannya siap, namun diam-diam menyadari beban yang akan ditanggung.

"Kalian sudah cukup terlatih," suara Don Alessandro D'Amore bergema, tegas namun penuh wibawa.

"Sekarang saatnya kembali ke tanah kelahiran."

Janette menahan napas. "Colombia?"

Alessandro mengangguk perlahan. Sorot matanya menusuk, mengisyaratkan bahwa yang menanti mereka bukan sekadar perjalanan pulang.

"Ada yang ingin merebut seluruh senjata ilegal dan barang terlarang geng Shadows, dari pistol dan senapan, bahan peledak dan granat, hingga narkotika. Jika berhasil, kekuatan mereka akan melampaui batas, bahkan bisa menguasai seluruh dunia gelap."

Jennifer menatap lurus, tajam bagaikan pisau. "Jadi, kita yang harus menghentikan mereka?"

"Benar," Alessandro menekankan, suaranya berat.

"Kalian tahu, Shadows bukan sekadar geng motor biasa. Mereka adalah arsitek dunia gelap, pembuat senjata ilegal dan bom. Barang-barang itu tidak boleh jatuh ke tangan siapapun selain kita."

Janette mengepalkan tangan, suaranya tegas namun dingin. "Maka kita harus merebutnya. Dan memastikan dunia gelap tidak bisa lagi mengendalikan mereka."

"Tepat sekali." Alessandro maju selangkah, tatapannya tajam.

"Kalian akan masuk ke Anggasanaa International High School sebagai murid baru. Dari sana, kalian harus mendekati inti Shadows, mencari rahasia mereka, menyingkap strategi, hingga menemukan gudang penyimpanan di mana semua barang itu disimpan. Dan saat waktunya tiba, kalianlah yang merebutnya, semua yang menjadi kekuatan Shadows akan beralih ke tangan kalian"

Jennifer mengangkat dagu, sudut bibirnya melengkung membentuk smirk dan penuh tantangan. "Kapan kita berangkat?"

"Besok sore." jawab Alessandro mantap.

Keheningan jatuh, hanya suara hujan mengetuk kaca, bagaikan detik jam yang menghitung mundur. Janette dan Jennifer saling bertukar pandang. Di balik sorot mata mereka terpantul tekad, namun juga bayangan dunia kelam yang menanti. Begitu mereka menjejakkan kaki kembali di tanah air, permainan ini tidak hanya soal misi ini adalah tarian di atas darah dan bayangan.

.
.
.

BOGOTA, COLOMBIA

Minggu malam, pukul 10. Hujan rintik menemani jalanan Bogota. Jennifer mengemudikan mobil sport hitam dengan tenang, tatapan tajam menembus jalanan basah.

Di sampingnya, Janette duduk tegap, matanya menilai setiap gerak-gerik kota yang tak pernah tidur.

Lampu kota memantul di kaca mobil saat mereka meluncur di jalan tol. Suasana malam terasa ramai, tapi sarat ancaman yang tak terlihat.

Setelah hampir satu jam, mereka akhirnya tiba di mansion keluarga D'Amore sebuah mansion megah, Pagar besi tinggi menjulang, dilengkapi sistem keamanan canggih, lampu sorot otomatis, serta puluhan cctv yang berputar mengikuti setiap gerakan.

Puluhan bodyguard berseragam hitam berjaga di berbagai titik, beberapa di antaranya bersenjata lengkap.

Begitu mobil sport hitam itu masuk melalui gerbang, dua bodyguard langsung menutup jalan di belakangnya, memastikan tidak ada kendaraan asing yang mengikuti.

Di sisi kiri mansion, terbentang garasi raksasa dengan pintu otomatis yang terbuka perlahan.

Di dalamnya, berjejer puluhan mobil mewah deretan Lamborghini, Ferrari, Bugatti, Rolls Royce, hingga SUV hitam yang biasa dipakai untuk pengawalan.

Di sudut lain, koleksi motor sport eksotis dengan warna mencolok berkilau terkena pantulan lampu neon biru garasi.

Jennifer menepikan mobilnya di samping koleksi lain, sementara Janette menoleh sekeliling dengan pandangan tajam.

Jennifer keluar dari mobil lebih dulu, menyalakan alarm mobil dengan satu sentuhan, lalu berjalan menuju pintu utama tanpa menoleh.

Janette menyusul, tetap waspada, seolah setiap bayangan bisa saja menyimpan ancaman.

Begitu masuk ke dalam mansion, suasana berubah hangat. Para maid sudah berbaris menyambut mereka. Dari arah ruang tamu, terdengar suara orang tua mereka sedang berbincang.

"WE ARE BACKKK!" teriak Jennifer dan Janette serempak, saling menatap dengan senyum lebar.

"Omg, Anette, Nifera! Kalian mau bikin mommy jantungan?!" seru Chloe Veronica D'Amore, sambil memeluk kedua putrinya erat-erat.

Don Salvatore D'Amore hanya bisa tersenyum geli, menggelengkan kepala seolah sudah terbiasa dengan tingkah mereka.

Chloe melepas pelukan, matanya berkaca-kaca. "Mommy kangen banget sama kalian berdua."

Salvatore menambahkan dengan suara tenang, "Sudah-sudah. Sebaiknya kalian ke kamar untuk istirahat, besok kalian sekolah. Untuk seragam, sudah disiapkan oleh maid."

"Baik, Dad," jawab keduanya, lalu berjalan menuju lift.

Di dalam lift kaca yang perlahan naik ke lantai atas, cahaya lampu kota Bogota tampak berkilau di kejauhan. Tetesan hujan yang menempel di dinding kaca menciptakan bias cahaya, seakan ribuan bintang jatuh dari langit malam.

Janette berdiri tegap, kedua tangannya menyilang di depan dada. Tatapannya serius, tak lepas dari bayangan samar kota di balik kaca. "Ingat fer, ini bukan main-main. Mereka berbahaya."

Jennifer berdiri di sampingnya. Senyumnya tipis. Ia menoleh sekilas ke arah pantulan wajahnya di kaca lift, lalu menatap kakaknya. "Justru itu yang membuat seru."

Hening kembali mengisi ruang sempit itu. Hanya suara mekanis lift yang bergerak naik dan gemericik hujan di luar kaca yang terdengar. Kota Bogota malam itu seakan ikut menjadi saksi awal permainan berbahaya yang baru saja dimulai.

Bersambung

Don't forget to vote and comment!


INI CERITA PERTAMA KU, JADI MOHON MAKLUMI JIKA BANYAK KESALAHAN DALAM TULISAN MAUPUN KOSAKTA.

KALIAN BISA BERIKAN KRITIK DAN SARAN! AKU AKAN USAHAIN UP TIAP HARI, AND JANGAN LUPA NINGGALIN JEJAK SETIAP CHAPTER YAA, BIAR AKU SEMANGAT BUAT NULIS CHAPTER SELANJUTNYA!! TERIMAKASIH AMORE ❤️

THE D'AMORE GAME Where stories live. Discover now