❝I wanna be yours, the heartbeat that syncs with yours.❞
―――
Dua pekan berlalu sejak ungkapan cinta meluncur dari bibir Hana di malam emosional mereka bak benih yang tak sengaja ditabur ke tanah. Dan sejak itu pula, suasana di apartemen mereka perlahan berubah―bukan perubahan dramatis, melainkan seperti tetesan embun pagi yang membasahi bumi setiap hari dan diam-diam membantu benih milik Hana untuk tumbuh dan perlahan merekah.
Hyunsuk merenungi kesalahannya setelah mengetahui bahwa dirinya seringkali tanpa sadar melukai sang istri. Tutur katanya, tingkah lakunya, ia perlahan mengubah semuanya dalam upaya memastikan agar tak ada yang terluka lagi.
Hyunsuk juga menyingkirkan barang-barang yang sekiranya akan mengingatkan dirinya kepada mendiang Luna, bukan serta-merta ingin melupakannya―karena ia ragu dirinya mampu, namun sebagai upaya menghargai posisi Hana sebagai istrinya.
Dan perubahan itu disadari oleh Hana. Tentang bagaimana keheningan di antara mereka tak lagi terasa canggung, juga tatap mata yang sering kali bertemu tak lagi membuatnya bingung―apakah Hyunsuk masih melihatnya sebagai pengganti Luna. Rasanya.. nyaman. Bahkan seringkali membuat jantungnya berdebar tak karuan.
Hari ini setelah makan malam, Hana duduk di ujung sofa dengan novel di pangkuan―aktivitas yang sering ia lakukan tiap malam akhir pekan. Hyunsuk sendiri masih di dapur, menawarkan diri membuat segelas kopi untuknya dan teh chamomile untuk Hana. Denting gelas mengisi ruang apartemen yang hening, bersahutan dengan suara hujan di balik jendela.
Kembali ke ruang tengah lima belas menit kemudian dengan dua gelas dalam genggaman, Hyunsuk tersenyum ketika menemukan cahaya dari lampu meja jatuh di sisi wajah Hana―pemandangan yang mulai menjadi kebiasaan dan diam-diam mengisi dadanya dengan kehangatan.
Di sana, ada ketenangan baru yang tumbuh di antara mereka. Sebuah ruang yang sengaja mereka upayakan dan rawat bersama sejak Hana mengakui perasaannya.
"Hana, ini tehnya." Hyunsuk meletakkan kedua gelas ke atas meja sebelum menyusul duduk di samping istrinya.
Hana mengangkat kepala dan melempar senyum, "Terimakasih."
Hyunsuk balas mengangguk, "Malam ini hujan lagi," matanya menatap ke arah jendela kaca, "tapi rasanya hangat."
Hana ikut mengalihkan pandangannya ke arah jendela, sebab 'hujan' dan 'hangat' tidak terdengar seperti sesuatu yang selalu datang bersama. Matanya kemudian beralih ke arah dua gelas di atas meja, apa karena kopi dan tehnya?
Hyunsuk yang menyadari kebingungan Hana tersenyum tipis, tangannya mengambil alih novel dari tangan istrinya. "Kamu.. hangat, dan cantik."
Eh?
Hana menunduk, kedua pipinya bersemu. Kalimat itu singkat, namun hangat. Seolah memang sudah dipersiapkan dan bukan sekedar omong kosong.
"Aku harus jawab apa..." lirihnya.
Hyunsuk tertawa pelan, tangannya terulur untuk mengusap rambut istrinya perlahan. "Thank you?" ia menelengkan kepala, menggoda.
"Tapi Hana, gak semua pujian itu perlu balasan." imbuhnya, "Kadang mereka cuma perlu diterima dan didengarkan."
Hana mengangguk, meraih gelas tes chamomile dan meneguknya pelan.
"Kalimat kamu waktu itu.. bikin aku mikir keras," Hyunsuk kembali membuka suara, "apa yang bikin kamu suka sama aku padahal kita gak terlalu dekat, dulu."
Hana tersedak, matanya membelalak.
Dibahas lagi?!
Mengingatnya pun ia masih malu setengah mati. Salahkan Hana dan kondisi emosionalnya tempo hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nepenthe | Choi Hyunsuk
Romance(n.) medicine for sorrow; a place, person or thing which can aid in forgetting grief and suffering. ❝Kalau kamu berpikir aku melakukan semua ini buat aku, kamu salah. Karena sejak awal alasanku cuma satu, kamu.❞ ―𝐇𝐚𝐧𝐚 𝐀𝐛𝐢𝐠𝐚𝐢𝐥. [written in...
