Di antara tumpukan tugas kuliah, jadwal rapat organisasi dan malam-malam panjang yang penuh renungan, Salya-mahasiswi semester 3 yang ceria dan aktif diam-diam menyimpan luka. Luka dari masa lalu yang tidak pernah benar-benar sembuh, dari cinta yang...
Matahari sore merayap pelan di langit kota kecil itu, meninggalkan rona jingga keemasan yang menempel di setiap sudut halaman rumah. Di teras, Salya duduk bersandar di bahu Yura, sementara empat anak mereka bermain riang di halaman-dua anak perempuan dengan kepang kembar yang mirip ibunya, dan dua anak laki-laki yang matanya setajam ayahnya.
Gelak tawa kecil mereka berlari mengejar balon sabun yang berterbangan di udara, sementara Salya sesekali tersenyum penuh syukur.
Salya: (berbisik pelan) "Kak... kadang aku masih nggak percaya, setelah semua rintangan dan ketakutan kita dulu... akhirnya kita sampai di sini. Kamu bener-bener milih aku, ya?"
Yura menoleh, menatap dalam ke mata istrinya, seakan ingin menegaskan sesuatu yang sudah lama terpatri di hatinya.
Yura: "Aku nggak cuma milih kamu, sayang. Aku selalu tau, bahkan waktu aku sempat ragu dan menjauh, hatiku nggak pernah berhenti pulang ke kamu. Karena... kalau hidup ini tentang memilih, aku akan tetap memilih kamu. Berulang kali. Tanpa ragu."
Salya menahan haru, lalu tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca. Dia menggenggam tangan Yura erat-tangan yang dulu hampir terlepas karena kesalahpahaman, tapi kini menjadi pegangan paling kokoh dalam hidupnya.
Dari kejauhan, anak-anak mereka berteriak sambil berlari ke arah mereka.
Anak pertama (gadis kecil berusia 9 tahun): "Ibu, Ayah, lihat! Aku bisa tangkap balonnyaaa!"
Anak kedua (anak laki-laki 7 tahun): "Ayah, nanti ajarin aku main bola lagi ya! Aku mau jadi hebat kayak ayah!"
Anak ketiga & keempat (si kembar berusia 4 tahun): "Ibuuu, ayo main sama kami!"
Salya dan Yura saling pandang, lalu tertawa bersamaan. Mereka bangkit, berjalan ke halaman, lalu memeluk anak-anak mereka yang berhamburan mendekat.
Langit semakin gelap, lampu-lampu rumah mulai menyala, dan dari kejauhan terdengar suara jangkrik. Dalam suasana sederhana itu, ada rasa hangat yang tak tergantikan-rasa yang lahir dari pilihan yang akhirnya benar.
Malam
Malam itu, setelah anak-anak tertidur, Salya duduk di samping Yura di balkon rumah. Angin malam membawa ketenangan, hanya ditemani bintang-bintang yang berkelip.
"Sayang," ucap Salya pelan. "Kamu masih ingat nggak, dulu kita hampir menyerah?"
Yura menoleh, menatap Salya dalam-dalam. "Aku ingat. Dan aku bersyukur... waktu itu aku memilih untuk bertahan. Karena pada akhirnya, kamu adalah rumah yang selalu kucari."
Salya tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Dan aku... aku bersyukur
Beberapa tahun setelah malam penuh doa dan tawa itu, kehidupan Salya dan Yura perlahan membentuk warna baru. Mereka sudah melewati badai-kesalahpahaman, jarak, hingga luka yang sempat membuat mereka hampir menyerah. Namun, akhirnya mereka memilih untuk tetap bertahan... memilih satu sama lain.
Kini, rumah kecil di pinggiran kota menjadi saksi perjalanan cinta mereka. Setiap pagi, terdengar suara riuh empat anak mereka yang berlarian di dalam rumah-dua laki-laki kembar yang selalu membuat keributan kecil, seorang anak perempuan yang manja mirip Salya, dan si bungsu yang masih bayi, selalu berada dalam pelukan Yura.
Salya sering kali tersenyum sendiri, teringat masa lalu ketika Yura pernah menjauh tanpa alasan. Kala itu, ia begitu marah, bahkan hampir membenci Yura. Tapi malam di halaman rumah dulu, saat Yura menjelaskan semua alasannya-tentang rasa takut, tentang luka yang belum sembuh-Salya mengerti. Cinta bukan hanya tentang tawa, tapi juga tentang keberanian untuk saling menerima kekurangan.
Hari itu, Yura pulang lebih cepat dari pekerjaannya. Ia membawa sushi-makanan kesukaan Salya sejak awal mereka dekat. Dengan wajah lelah namun penuh cinta, ia menyambut keluarganya yang menunggu di meja makan.
"Ayah pulang!!" teriak si kembar sambil berlari menghampiri.
Yura jongkok, memeluk mereka erat. "Wah, sudah besar aja nih anak ayah."
Salya datang dari dapur, tersenyum sambil membawa sup hangat. "Kamu masih ingat janji ya... sushi setiap tanggal kita pertama kali ketemu."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Yura menatapnya dalam-dalam, lalu mengecup keningnya. "Aku nggak pernah lupa. Karena hari itu, aku memilih kamu. Dan sampai sekarang... aku nggak pernah menyesal."
Salya terdiam sejenak, hatinya hangat. Dulu, ia sempat merasa Yura tidak pernah benar-benar memahaminya. Yura pun berpikir hal yang sama. Tapi ternyata, cinta membuat mereka belajar-bahwa memahami tidak harus selalu benar, cukup mau berusaha bersama.
Malam itu, setelah anak-anak terlelap, mereka duduk di beranda. Langit penuh bintang, sama seperti malam-malam dulu saat mereka masih mahasiswa.
Salya menyandarkan kepala di bahu Yura. "Kak, terima kasih sudah memilih aku."
Yura menggenggam tangannya erat. "Bukan hanya memilih, sayang. Aku akan selalu memilih kamu... setiap hari, setiap waktu."
Di kejauhan, suara jangkrik menemani. Kehidupan mereka mungkin tidak sempurna-akan selalu ada masalah, ada perdebatan kecil, ada lelah yang datang tanpa diundang. Namun, cinta yang mereka bangun adalah bukti nyata bahwa ketika dua hati memilih untuk bertahan, semua luka bisa sembuh, semua jarak bisa hilang.
Dan begitulah...
Kisah Salya dan Yura berlanjut-dari masa muda penuh gejolak hingga hari-hari dewasa yang hangat. Mereka bukan hanya saling mencintai, tapi juga saling menemukan rumah satu sama lain.
✨ Karena pada akhirnya, if I'm the one you choose... then I'll be the one who stays. ✨