Empat

9.5K 643 31
                                    

Namun kondisi Lucia semakin memburuk. Dengan sabar, Rayni menemani dan merawat wanita itu dengan telaten. Meski para pelayan siap kapanpun dibutuhkan, tapi Lucia seolah tidak mau jauh dari Rayni.

"Kami hidup di antara para pria perkasa, yang menuntut kenyamanan di dalam rumah. Pakaian dan perhiasan mewah hanya untuk acara penting kerajaan. Kami menghias tubuh hanya jika ada acara penobatan raja baru, pernikahan anggota kerajaan, atau kelahiran bayi keluarga."

"Kehidupan sederhana justru jauh lebih menarik. Karena tidak ada perasaan saling iri dan benci, ketika sudah ada jurang pemisah dalam strata sosial suatu masyarakat."

"Dan kau juga harus pandai memasak seperti wanita lain di Haraam End. Kecuali Azizah yang lebih memilih memoles seluruh tubuhnya. Gadis itu menyangka jika kecantikannya akan meluntur, ketika harus berurusan dengan bau asap dan keringat."

"Saya pernah belajar memasak nasi berbumbu yang dipadu dengan daging domba muda yang dibakar." Rayni teringat akan saat-saat ketika belajar memasak di dapur Apartemen Sayid. Betapa pria itu sangat sabar mengenalkan Rayni pada berbagai macam jenis bumbu dan fungsinya. Rayni pandai memasak karena Sayid, namun sayangnya semua hanya tinggal kenangan belaka.

"Belajarlah lagi, maka pengetahuanmu akan bertambah." Lucia menggenggam jemari Rayni seolah memahami gejolak yang tengah berkecamuk di benak gadis itu.

"Aku akan melakukannya, Ummi." Rayni berusaha membawa keceriaannya kembali setelah tadi sempat menghilang. Kondisi Lucia semakin memburuk karena jantungnya yang semakin lemah. Rayni tidak ingin Lucia ikut menanggung beban lebih banyak, dengan memikirkan kesedihan yang masih tinggal di hatinya.

"Zavir sangat menyukai daging domba yang digoreng dengan sedikit minyak zaitun dan bumbu rahasia. Setelah matang lalu dikukus dengan menggunakan daun korma, rasanya sungguh sangat lezat." Lucia menjelaskan dengan lirih, "aku akan memberikanmu resepnya. Aku berharap suatu hari kau mau memasaknya untuk putraku."

"Tentu saja, Ummi. Aku akan menerimanya dengan senang hati. Tapi aku akan mebuatnya bukan hanya untuk Zavir, namun juga untuk Ummi." Rayni berbicara penuh semangat. Tentu saja karena ia sudah lama tidak menginjakkan kaki di dapur. Rasa rindu akan bau rempah-rempah dan aroma nasi hangat, membuat adrenalin Rayni seperti terpacu.

"Zavir suka menyantapnya dengan nasi putih hangat, dari beras yang dihasilkan sawah-sawah terbaik di Haraam End."

"Sawah? Di sana juga ada sawah?" Rayni mencoba mencerna informasi baru yang sungguh teramat sulit diterima akalnya.

"Di sana segalanya ada, sayang. Masaklah hidangan itu untuk kami, nanti kita akan menikmatinya bertiga."

Ada banyak harapan di dalam ucapan itu. Karena Lucia menginginkan putranya mengenal lebih jauh sosok gadis berpembawaan tenang itu. Meski masih dalam hitungan hari, namun penglihatannya sebagai orangtua dapat menyimpulkan banyak hal dari Rayni.

Gadis itu sederhana, pemberani, dan cekatan. Wajahnya jangan dikata lagi. Rayni memiliki pesona seorang dewi kahyangan yang dengan sekali kedip maka para dewa akan bertekuk lutut di kakinya. Namun bukan itu yang membuat Lucia menaruh harapan besar. Tetapi Rayni akan dapat menghangatkan sifat Zavir yang dingin dan cenderung terlalu maskulin.

Namun harapan tinggallah harapan, meninggalkan segumpal janji yang tidak mungkin ditepati oleh Rayni. Pagi harinya, berita duka itu menyebar seiring embusan udara pagi hari.

"Menikahlah kalian berdua, maka aku akan mati dengan tenang." Lucia menatap sepasang anak muda itu dengan cahaya penuh harapan.

"Ummi pasti akan sembuh." rintih Rayni di sela deraian tangisnya. Kedua tangannya di genggam erat oleh Lucia. Tangan yang perlahan dingin seakan cahaya kehidupan pelan-pelan meninggalkannya.

Pesona Sahara (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang