Aku sering mikir, hidup mungkin bakal lebih gampang kalau aku bisa hadapin masalah langsung. Tapi kenyataannya, aku malah jago menghindar. Bukan karena nggak peduli, tapi karena rasanya tiap kali ada konflik atau situasi berisiko, otakku langsung nyalain mode "lari, jangan hadapi".
Buat orang lain, menghindar mungkin kelihatan pengecut. Tapi buatku, ini soal bertahan hidup. Setiap kali aku mau ngomong jujur tentang apa yang aku rasain, ada rasa panas di dada, keringat dingin, dan suara di kepala yang bilang, "Jangan. Ini bakal jadi buruk. Diam aja lebih aman." Jadi, aku memilih jalan memutar, atau bahkan nggak lewat sama sekali.
Misalnya, kalau ada teman yang nyakitin aku, aku nggak langsung bilang. Aku pura-pura nggak apa-apa, senyum, dan nyimpen rasa sakit itu sendiri. Bukan karena aku nggak sadar disakitin, tapi karena aku takut kalau aku ngomong, mereka marah, kecewa, atau ninggalin aku. Di pikiranku, kehilangan orang lebih menakutkan daripada terus merasa nggak nyaman.
Aku juga sering nolak kesempatan bagus cuma karena takut gagal. Ada tawaran ikut lomba, presentasi, atau bahkan hal sesimpel nyoba tempat baru—aku mikirnya, "Kalau nanti nggak berhasil, gimana?" Jadi aku bilang, "Ah, nggak deh, nggak sempat," padahal aku cuma takut keluar dari zona nyaman.
Masalahnya, avoidant coping ini bikin lingkaran yang nyiksa. Awalnya aku menghindar biar nggak stres. Tapi karena nggak pernah hadapin masalah, masalah itu tetap ada, kadang malah membesar. Dan waktu itu terjadi, aku malah makin merasa nggak mampu, makin takut, dan makin menghindar. Kayak nyapu debu ke bawah karpet—lama-lama jadi gundukan yang bikin orang tersandung.
Yang paling berat itu rasa penyesalan. Aku sering kepikiran, "Andai dulu aku berani ngomong... andai dulu aku coba... mungkin sekarang ceritanya beda." Tapi nyesel pun nggak cukup kuat buat ngedorong aku berubah. Butuh waktu lama buat nyadar kalau menghindar memang bikin aku aman di momen itu, tapi nyuri banyak kemungkinan indah dari hidupku.
Sekarang aku lagi belajar pelan-pelan. Nggak langsung terjun ke konflik besar, tapi mulai dari hal kecil: bilang "nggak" kalau memang nggak mau, nyoba sesuatu yang bikin deg-degan tapi masih aman, atau jujur kalau aku keberatan. Rasanya kayak latihan otot yang udah lama nggak dipakai—pegal, tapi aku tahu ini perlu.
Avoidant coping itu nyaman, kayak selimut tebal di malam hujan. Tapi kalau dipakai terus, lama-lama kamu nggak pernah keluar rumah, nggak pernah ngerasain sinar matahari. Dan aku nggak mau seumur hidup cuma ngeliatin dunia dari balik jendela. Aku mau, meski sedikit demi sedikit, belajar berdiri di luar, walaupun itu berarti aku harus siap kehujanan dulu.
YOU ARE READING
Inner Child
Non-FictionBuku ini bukan tentang kisah sempurna. Ini tentang rasa yang lama dipendam, suara yang dimatikan, dan luka yang dianggap biasa. Tentang jadi anak yang selalu salah, teman yang harus kuat, manusia yang terus menahan, meski di dalamnya hampir habis. T...
