Kadang, orang cuma tau PTSD itu dialami sama tentara atau korban kecelakaan besar. Tapi mereka nggak ngerti kalau luka yang nyangkut di kepala bisa datang dari rumah sendiri... dari orang-orang yang seharusnya melindungi kita. Buat aku, Complex PTSD itu kayak punya film horor pribadi yang terus diputar ulang di kepala, tapi nggak ada tombol pause. Bedanya, film ini bukan dari satu kejadian, tapi dari bertahun-tahun hal kecil yang nyakitin, yang numpuk sampai jadi monster di otak.
Aku nggak pernah sadar aku punya "nama" untuk apa yang aku rasain. Dulu, aku cuma mikir aku gampang panik, gampang takut, gampang kepikiran. Padahal itu semua sisa-sisa dari masa lalu yang nggak pernah dikasih kesempatan sembuh. Aku tumbuh di lingkungan di mana tiap hari kayak jalan di medan ranjau — nggak tahu kapan bakal meledak. Kalau suasana rumah lagi tenang, aku justru makin tegang, karena aku tahu "badai" pasti datang.
Complex PTSD bikin aku selalu siap-siap, bahkan pas nggak ada bahaya. Aku duduk di kelas, temen-temen ketawa, tapi aku udah mikirin plan kabur kalau ada yang teriak marah. Aku lagi nongkrong di kafe, tapi tanganku keringetan cuma gara-gara ada suara gelas jatuh. Rasanya kayak tubuhku nggak pernah percaya kalau aku aman.
Hal yang paling nyiksa itu flashback. Kadang aku lagi nyuci piring, terus tiba-tiba kebawa ke momen waktu kecil, saat aku diseret ke kamar dan dikunci di dalam. Bukan cuma ingatan — tubuhku bener-bener ngerasain lagi dinginnya lantai, suara langkah kaki di luar pintu, detak jantung yang kayak mau meledak. Dan setelahnya... aku cuma berdiri bengong, kayak rohku ditarik balik dari masa lalu.
Orang pikir aku "terlalu sensitif". Tapi mereka nggak ngerti kalau ini bukan pilihan. Aku nggak milih untuk langsung nangis kalau dengar orang banting pintu. Aku nggak milih untuk menghindari orang yang suaranya mirip orang yang nyakitin aku dulu. Semua ini cuma otakku yang terlalu sering dilatih untuk bertahan hidup.
Yang bikin sedih, Complex PTSD sering bikin aku merasa nggak layak dicintai. Siapa yang mau sama orang yang bisa panik cuma gara-gara nada suara berubah? Siapa yang tahan sama seseorang yang kadang tiba-tiba nge-freeze pas lagi ngobrol?
Tapi di sisi lain... ada bagian kecil di aku yang masih mau sembuh. Aku mulai belajar kalau masa lalu memang nggak bisa dihapus, tapi aku bisa belajar bikin "tempat aman" buat diri sendiri sekarang. Kadang cuma sekadar nyalain lilin wangi, nulis semua yang aku rasain, atau bikin playlist lagu yang bikin napas aku lebih pelan.
Complex PTSD itu nggak sekadar trauma... ini kayak sisa-sisa puing dari perang panjang yang aku alami di tempat yang seharusnya jadi rumah. Dan meski rasanya capek banget, aku mau percaya kalau suatu hari nanti, aku bisa bangun rumah baru — yang bener-bener aman, meski cuma di dalam diriku sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Inner Child
NonfiksiBuku ini bukan tentang kisah sempurna. Ini tentang rasa yang lama dipendam, suara yang dimatikan, dan luka yang dianggap biasa. Tentang jadi anak yang selalu salah, teman yang harus kuat, manusia yang terus menahan, meski di dalamnya hampir habis. T...
