Kabut tipis masih menggantung di udara, menyelimuti halaman luas tempat peristirahatan terakhir itu dengan keheningan yang menyesakkan.
Sepanjang jalan utama tampak deretan pohon cemara yang berbaris rapi tampak seperti barisan pelayan yang menyambut kedatangan tamu mereka di peristirahatan yang penuh keabadian.
Sinar matahari pagi itu tak nampak menyembul di balik gedung-gedung tinggi Seoul seperti hari biasanya.
Hari itu cuaca mendung, seakan ikut merasakan kesedihan yang mendalam, dunia seakan ikut berbela sungkawa.
Anak laki-laki itu berjalan pelan melewati taman memorial yang terawat sempurna. Air mancur kecil memercik lembut, suaranya menyatu dengan kicau burung yang mulai terjaga dari dahan tinggi.
Hatinya kacau balau tak karuan, langkah kakinya terasa begitu berat, namun tanpa bisa ia hentikan, tubuhnya terus melangkah membawa dirinya memasuki bangunan peristirahatan utama.
Ia melewati pintu-pintu kaca yang berdiri anggun-dinding kaca berbingkai kayu gelap dan atap melengkung bergaya hanok modern, mencerminkan langit yang perlahan berubah warna dari kelabu pucat menjadi biru keperakan.
Tak banyak pengunjung hari itu.
Masih pukul tujuh pagi.
Di saat sebagin besar orang masih sibuk dengan aktivitas dunia mereka, atau bahkan masih terlelap di alam mimpi.
Di sini, pagi tidak sekadar datang; ia hadir sebagai lukisan hidup yang merangkai kesedihan, keindahan, dan ketenangan menjadi satu kesatuan tak terucap.
Tempat yang menguras air mata dan hatinya, namun juga tempat yang selalu ia rindukan.
Pintu masuk utama gedung penyimpanan abu jenazah semakin terlihat, menjulang elegan, terbuat dari kaca tebal berlapis ukiran motif hanok yang dipadukan dengan sentuhan modern.
Di kedua sisinya, taman kecil tertata rapi dengan bonsai pinus dan lentera batu yang memancarkan cahaya lembut.
Begitu pintu otomatis terbuka, udara di dalam terasa sejuk dan wangi menyeruak hasil perpaduan aroma kayu cedar dan bunga lily putih yang tertata di vas kristal.
Lantai marmer mengilap memantulkan cahaya lampu gantung berlapis kristal yang menggantung anggun di langit-langit tinggi.
Jalur menuju area utama dihiasi panel kayu berwarna gelap dengan kaligrafi Hanja keemasan yang berisi kata-kata penghiburan dan doa untuk arwah.
Tulisan- tulisan yang justru membuat hatinya semakin sakit.
Ia terus melangkah semakin ke dalam, suasana berubah semakin khidmat.
Di sepanjang mata memandang rak-rak penyimpanan abu terbentang di ruangan luas berbentuk melingkar, terbuat dari kayu jati halus dengan pintu kaca transparan berbingkai emas.
Setiap kotak penyimpanan diberi pencahayaan lembut yang memancarkan cahaya hangat, seperti memeluk nama dan foto yang tertera di depannya.
Lantai dilapisi karpet tebal berwarna krem, meredam langkah kaki sehingga hanya kesunyian yang menguasai udara.
Mengenang mendiang Han Eun Hye, istri tercinta...ibu terkasih...
Anak laki-laki itu tertegun menatap lurus ke dalam rak berisi guci abu jenazah ibunya.
Dipandanginya foto keluarga yang diambil dua tahun lalu bersama ibu dan ayahnya.
Dalam bingkai foto tersebut ketiganya tersenyum sumringah tampak begitu bahagia.
Sungguh berbanding terbalik dengan kehancuran hatinya saat ia memandang kembali foto tersebut yang kini hanya meninggalkan kepedihan yang tak tertahankan.
YOU ARE READING
Unforgiven : The Edge of Despair
FanfictionDunia dan segala kerumitannya.. Terlalu rumit untuk menentukan mana yang benar...mana yang salah...yang mana kebaikan...yang mana kejahatan... Batas antara kebaikan dan kejahatan sering kali tidak lebih dari sebuah garis tipis yang hampir tak bisa...
