Keesokan harinya, suasana kampus terasa lebih hangat setelah hujan semalam. Matahari kembali bersinar, dan halaman Universitas Nusantara Perdana ramai oleh mahasiswa yang bercengkerama.
Selena baru saja keluar dari kelasnya bersama Mira.
Mira sibuk bercerita tentang tugas kelompok yang membuatnya pusing tujuh keliling, sementara Selena hanya mendengarkan sambil sesekali mengangguk.
“Eh, ngomong-ngomong…” Mira menurunkan suaranya, “aku lihat kamu kemarin pulang bareng Kak Ravian. Itu… kalian ada apa-apa, ya?”
Selena memutar bola matanya. “Nggak ada, Mir. Dia cuma nolongin aku karena hujan.”
Mira menatapnya dengan senyum menggoda. “Ih, kalau nolongin biasa, kenapa aku lihat dia sengaja ngasih payungnya lebih ke arah kamu, sampai dia yang kebasahan?”
Selena terdiam sejenak. Ingatan tentang hujan kemarin membuat pipinya sedikit memanas.
“Ya ampun, Mir. Jangan halu,” katanya sambil tertawa kecil.
Mereka berdua sampai di kantin. Di pojok ruangan, Selena melihat Ravian sedang duduk bersama Rio dan beberapa teman seangkatannya. Rio sedang bercerita dengan ekspresi berapi-api, sementara Ravian hanya tersenyum tipis sambil sesekali memandang ke arah pintu—dan pandangannya berhenti tepat pada Selena.
Mata mereka bertemu. Ravian memberi anggukan kecil, seolah menyapa dari kejauhan. Selena membalasnya dengan senyum singkat.
“Waduh, tatapan itu…” bisik Mira sambil menahan tawa. “Fix, dia ada rasa.”
Mereka memilih meja tak jauh dari kelompok Ravian.
Sambil makan, Selena tidak sengaja mendengar percakapan di meja sebelah. Suara Rio yang cukup keras membuat beberapa kata masuk ke telinganya.
“Vi, kalau lo terus deketin dia, lo siap kan sama risikonya? Dia beda…” Rio berhenti sebentar, lalu melirik Selena sekilas, “…banyak hal yang beda.”
Ravian menatap Rio, nada suaranya tenang tapi tegas. “Gue tahu, Ri. Tapi kadang… rasa itu nggak peduli sama perbedaan.”
Selena menghentikan sendoknya di tengah udara. Kata-kata itu membuat dadanya berdebar aneh.
Mira yang duduk di depannya langsung mencondongkan tubuh. “Kamu denger juga kan?” bisiknya.
Selena mengangguk pelan.
Ia menunduk, berusaha fokus pada makanannya, tapi pikirannya terus melayang pada kalimat Ravian.
Setelah selesai makan, Ravian mendekati mejanya.
“Selena, nanti sore ada rapat BEM di aula. Kamu ikut, kan?”
Selena menatapnya sedikit bingung. “Aku kan belum jadi anggota BEM.”
Ravian tersenyum. “Anggap aja tamu. Aku cuma… mau ngajak kamu lihat suasananya.”
Mira yang duduk di samping langsung menyikut lengan Selena. “Pergi aja, Sel.”
Akhirnya Selena mengangguk. “Oke, nanti aku datang.”
Ravian tersenyum puas, lalu kembali ke mejanya.
Selena menatap punggungnya yang menjauh, merasa ada sesuatu yang mulai tumbuh di antara mereka—sesuatu yang indah, tapi mungkin akan sulit untuk dijaga.
YOU ARE READING
Langit yang Sama
Teen FictionBagi Selena Ardelia Ranum, masuk kuliah di Universitas Nusantara Perdana adalah awal lembaran baru. Ia hanya ingin fokus belajar dan menikmati hari-harinya sebagai mahasiswi baru. Namun semua berubah ketika ia bertemu Ravian Mahendra Atmaja - senior...
