Hari kedua orientasi terasa lebih ramai daripada kemarin. Matahari belum terlalu terik, tapi lapangan kampus Universitas Nusantara Perdana sudah dipenuhi mahasiswa baru yang bercampur dengan panitia. Musik dari pengeras suara mengiringi suasana pagi yang riuh, sesekali diselingi suara panitia yang memberi arahan lewat mikrofon.
Selena datang sedikit lebih siang dari kemarin. Ia mulai terbiasa dengan suasana kampus, tapi tetap saja, setiap langkah di lingkungan baru ini membuatnya sedikit tegang.
Ia merapikan rambutnya yang tergerai, sambil melirik kanan-kiri mencari posisi yang tidak terlalu ramai.
“Nad—eh, maksudnya… Selena, kan?” suara itu membuatnya berhenti melangkah.
Selena menoleh, dan di sana Ravian berdiri sambil memegang botol minum. Wajahnya sedikit berkeringat, tapi senyumnya tetap santai.
Selena mengerjap. “Eh… iya, Kak,” jawabnya cepat, meski dalam hati bertanya-tanya bagaimana Ravian bisa mengingat namanya.
“Dari kemarin aku lihat kamu kayaknya jalan sendirian terus,” katanya sambil melangkah mendekat. “Nggak bareng temen?”
Selena menunduk sedikit. “Belum terlalu kenal sama mereka, Kak. Lagian… saya nggak terlalu suka rame-rame.”
Ravian mengangguk paham. “Ya udah, kalau gitu kamu gabung di grup aku aja. Biar nggak bingung.”
Sebelum Selena sempat menjawab, suara panitia lain memanggil Ravian. Ia menoleh sebentar, lalu kembali menatap Selena.
“Nanti pas istirahat siang, tunggu di tangga dekat aula. Aku temenin keliling kampus.”
Kalimat itu sederhana, tapi entah kenapa membuat Selena merasa ada sesuatu yang berbeda. Ia hanya mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan senyum yang tiba-tiba muncul.
Dan benar saja, ketika istirahat tiba, Ravian menepati ucapannya. Mereka berjalan berdua mengelilingi area kampus—melewati gedung kuliah yang berdinding putih bersih, perpustakaan yang sunyi dari luar, kantin yang penuh mahasiswa, sampai taman belakang yang sepi dan teduh.
Di taman itu, suara bising kampus menghilang, tergantikan oleh gemerisik daun dan aroma tanah yang lembap. Selena memperhatikan wajah Ravian dari dekat untuk pertama kalinya. Garis rahangnya tegas, matanya teduh, dan senyum kecilnya terlihat tulus.
“Kak Ravian… kalau boleh tahu, kenapa mau repot-repot nemenin saya?” tanya Selena akhirnya.
Ravian menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. “Karena aku nggak mau mahasiswa baru yang aku temui kemarin merasa sendirian di kampus ini.”
Selena terdiam. Ada sesuatu di nada suara Ravian yang membuat hatinya tenang, seakan ia benar-benar tulus. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan senyum kecil yang tak bisa ia tahan.
Dan di momen itu, Selena sadar… pandangan pertama kemarin bukan sekadar kebetulan. Ada sesuatu yang mulai tumbuh, meski ia belum tahu akan dibawa ke mana.
YOU ARE READING
Langit yang Sama
Teen FictionBagi Selena Ardelia Ranum, masuk kuliah di Universitas Nusantara Perdana adalah awal lembaran baru. Ia hanya ingin fokus belajar dan menikmati hari-harinya sebagai mahasiswi baru. Namun semua berubah ketika ia bertemu Ravian Mahendra Atmaja - senior...
