14. Separuh Sadar

151 17 36
                                        

Setibanya di rumah, Bhumi memarkir mobilnya dengan perlahan. Suara mesin yang dimatikan menciptakan keheningan mendadak di dalam kabin. Namun, ia tak langsung membuka pintu atau melepas sabuk pengamannya. Tubuhnya tetap diam, menyandar pada jok, sementara tatapannya jatuh pada sebuah kotak mungil di kursi penumpang.

Kotak kado dari Garin. Masih dibungkus rapi, lengkap dengan pita satin berwarna cokelat tua.

Bhumi menatap benda itu tanpa berkedip, seolah mencoba membaca sesuatu dari permukaan kertas kado yang polos. Tak ada catatan, tak ada pesan. Hanya kotak itu—sederhana, tapi justru terasa berat. Ia tahu isinya bukan sesuatu yang besar. Mungkin saja hanya camilan. Atau barang kecil yang lucu. Tapi yang membuatnya bergeming bukanlah isi kado itu, melainkan siapa yang memberikannya, dan kenapa itu diberikan.

Keraguan muncul. Ada sesuatu yang mengendap di benaknya, tidak keras, tapi konsisten—mengusik, seperti bunyi tetes air dalam ruang kosong. Matanya masih tertuju pada kotak itu, dan diam-diam pikirannya bergerak ke arah yang tidak ingin ia akui. Tentang harapan. Tentang kemungkinan. Tentang sesuatu yang tidak boleh ia rasakan lebih jauh.

Beberapa menit berlalu. Ia menghela napas panjang, berat, seperti hendak mengusir sesuatu dari dadanya. Lalu, dengan satu gerakan kecil namun tegas, ia membuka pintu dan keluar dari mobil.

Tangannya tidak menyentuh kotak itu. Ia membiarkannya tetap di sana, seolah menunda keputusan yang belum siap diambil. Seolah jarak antara dirinya dan kotak itu bisa menjadi penyangga atas perasaan yang belum ia beri nama.

Begitu memasuki rumah, Bhumi disambut suasana hangat ruang keluarga yang diterangi lampu kuning redup. Di sana, kedua orang tuanya tengah duduk santai di sofa panjang, masing-masing memegang cangkir teh yang mulai mendingin. Terdengar percakapan ringan dan tawa kecil sesekali, seolah hari berjalan tanpa beban di rumah itu.

Ayahnya langsung melirik saat mendengar suara pintu terbuka. "Pulang juga akhirnya, capek, Mas?" sapanya dengan nada ringan, senyum ramah mengiringi pertanyaannya.

Dari arah yang sama, sang ibu ikut menyambut. Suaranya lembut, mengandung perhatian khas seorang ibu. "Sudah makan belum, Mas?"

Bhumi hanya menjawab dengan gumaman singkat. "Sudah, Bu." Nadanya datar, tanpa irama emosional. Ia melepas dasi yang seolah mengikat leher, lalu melangkah menuju lantai atas. Pandangannya kosong, pikirannya masih belum sepenuhnya meninggalkan kursi pengemudi tempat ia termenung beberapa menit sebelumnya.

Baru saja Bhumi menapakkan kaki di anak tangga pertama, ibunya kembali berseru dengan nada ceria, "Oh ya, tadi Shena ke sini. Dia bawa kue buat kita. Mas harus cicip, kuenya enak banget, lho!"

Langkah Bhumi terhenti. Ia menoleh perlahan ke arah ibunya, alisnya mengerut sedikit, kebingungan. "Shena?"

Ibunya tertawa kecil, seperti sudah menduga respons itu akan muncul. Ia menggeleng pelan, seolah geli sendiri. "Anak Tante Ratna, yang kemarin datang pas ulang tahun Ibu. Masa sudah lupa?"

Bhumi tak menjawab seketika. Ia hanya terdiam, mencoba mengingat—atau setidaknya, berpura-pura mengingat. Lalu akhirnya ia mengangguk singkat, sambil berkata pelan, "Oh, iya..." Setelah itu, tanpa menambahkan apa-apa lagi, ia kembali menaiki tangga menuju kamarnya.

Saat Bhumi sudah tak lagi terlihat, hanya terdengar langkah-langkah kaki menjauh, sang ayah dan ibu saling berpandangan. Senyum maklum tergurat di wajah mereka berdua.

Dengan nada menggoda, sang ayah berujar, "Mas itu terlalu cinta sama pekerjaan, keliatannya."

Ibunya tertawa kecil sambil menyandarkan tubuh ke sofa. "Kayaknya kita harus sering-sering panggil cewek cantik ke rumah, biar dia naksir."

GRAVITY • tkWhere stories live. Discover now