PROLOG

10 2 0
                                        

Hai?
selamat datang di kisah seseorang yang mencintai tanpa pernah memiliki.

SILAHKAN FOLLOW, VOTE, DAN KOMEN.

Cerita yang ku tulis ini, lahir dari rasa-rasa yang tak pernah sempat terucap, rasa yang seringkali hanya bisa disimpan, atau... pada akhirnya harus dilepaskan.

Menulis bukan untuk didengar banyak orang, tapi untuk menyuarakan perasaan yang seringkali tak bisa diucapkan.

"1.460 Days" bukan sekedar fiksi. Ia adalah potongan perasaan yang pernah (atau masih) ada di hati seseorang. Mungkin kamu, mungkin aku.

Mungkin kamu akan menemukan dirimu di dalam Viena.
Mungkin kamu akan menemukan seseorang yang dulu pernah kamu cintai dalam Zean.

Terima kasih sudah membaca.
Semoga kamu berani mencintai, meski dalam diam.
Dan semoga suatu hari, diam itu menemukan namanya.

APABILA ADA KESAMAAN NAMA, TOKOH, DAN TEMPAT. INI HANYALAH KETIDAKSENGAJAAN. MOHON MENJADI PEMBACA YANG BIJAK.

SELAMAT MEMBACA, SEMOGA SUKA.
AAMIIN.

***

Aku mengingatnya bukan dari senyum yang dia berikan padaku.
Aku mengingatnya dari detik-detik sunyi yang aku isi dengan doa diam, berharap semesta mau membisikkan namaku ke telinganya... sekali saja.

Bukan cinta yang besar, meledak-ledak, dan penuh drama seperti di film. Ini tentang cinta yang sunyi, rapat, dan hanya tumbuh di dalam hatiku—tempat dimana aku bebas memanggil namanya tanpa harus takut ditertawakan.

Al-Zean Mahesa Nathanael.
Nama terbaik yang diberikan oleh kedua orang tuanya 18 tahun lalu—dan yang selalu tersemat dalam hatiku selama 1.460 hari tanpa seorangpun yang tahu, kecuali aku dan Tuhan.

Selama itu, aku menyimpan rindu, menulis namanya dalam ribuan kertas, dan tersenyum saat dia tertawa—meski bukan untukku. Namun sayangnya, aku tidak pernah benar-benar hadir dalam hidupnya. Aku seperti bayangan yang mengikutinya—terlihat oleh dunia, tapi tidak oleh dirinya.

Orang-orang berkata, cinta tak harus memiliki. Tapi mereka tidak pernah tahu rasanya mencintai seseorang yang bahkan tidak tahu bahwa kita ada. Mereka tidak pernah tahu bagaimana rasanya menjadi latar belakang dalam kisah seseorang yang menjadi tokoh utama dalam hidup kita.

Ini bukan cerita tentang mendapatkan hal yang bahagia.
Ini adalah cerita tentang mencintai tanpa pernah disentuh balik. Tentang air mata yang jatuh diam-diam di balik senyum palsu. Tentang luka yang bahkan tak bisa disebut luka, karena dia tidak pernah menyakitiku... dia hanya tidak pernah menyadari aku ada.

1.460 hari aku belajar menjadi asing
Dalam diam yang ku peluk setiap malam
Namamu ku ucap seperti doa rahasia
Yang bahkan Tuhan pun enggan mengabulkannya

1.460 hari ku tulis namamu dalam diam
Pada kertas, pada udara, pada doaku
Tapi tak sekali pun kau menoleh
Bahkan ketika dunia serasa berhenti saat aku menatapmu

Aku mencintaimu, dalam detik yang kau tak tahu
Dalam tawa yang tak pernah untukku
Dalam pagi yang ku tunggu, hanya untuk melihatmu.

"Empat tahun menunggu sebuah harapan—yang bahkan tidak akan pernah datang. Cinta ini seperti udara, selalu ada namun tak pernah terlihat."

- Archella Viena Bimantara.

***

Langit sore itu mendung.
Gerimis pelan membasahi seragam Viena yang baru saja keluar dari ruang kelas. Ia berdiri di depan papan pengumuman kelulusan yang baru saja ditempel di mading sekolah. Semua orang bersorak, berpelukan, dan saling memberi selamat. Halaman sekolah penuh tawa... dan perpisahan.

Tapi tidak dengan Viena.

Ia berdiri sendirian, tepat di depan mading. Matanya menelusuri deretan nama siswa yang lulus, dan namanya sendiri berada di urutan teratas. Tapi itu bukan yang ia cari. Ia berbalik, menatap ke arah lapangan. Mencari satu nama—satu wajah yang sejak lama memenuhi hari-harinya.

Zean.

Ada di sana.
Duduk di bangku panjang di bawah pohon, tertawa lepas bersama teman-temannya. Wajahnya masih sama—tenang, hangat, dan entah bagaimana selalu berhasil membuat jantung Viena berdetak tak karuan.

Di tangan Viena tergenggam erat sebuah buku kecil, lumayan tebal.
Bukan buku biasa.
Itu adalah kumpulan kata, puisi, dan perasaan yang ia tulis diam-diam selama empat tahun.
Rencananya, buku itu akan ia berikan hari ini.

Empat tahun.
Empat tahun penuh rasa yang tumbuh dalam senyap.
Rasa yang tak pernah berubah arah, tapi juga tak pernah cukup berani untuk melangkah.

Tawa Zean terdengar lagi.
Kali ini diselingi panggilan lembut dari seorang gadis lain—bukan dirinya.

"Selamat ya, Vien."
Sebuah suara menyapanya. Sahabatnya.

Viena hanya menoleh sekilas. Tersenyum kecil. Tak berkata apa-apa.
Matanya kembali mencari ke arah bangk, tapi Zean sudah tak ada.

Dan sekali lagi...
Ia hanya berdiri.
Tanpa sempat mengucapkan apa-apa.

Seperti biasanya.
Mencintai... dalam diam.

____________________________

Tapi sebelum hari itu...
Sebelum gerimis pertama yang mengantar perpisahan,
sebelum Viena tahu rasanya berdiri sendirian di tengah keramaian,
dan sebelum ia menuliskan 1.460 hari perasaannya dalam sebuah buku—semuanya dimulai dari satu hari biasa.

Satu tatapan tanpa makna,
yang perlahan tumbuh menjadi perasaan yang tak bisa lagi disangkal.

***

Haii kalian! Makasih banyak udah nyempetin baca sampai akhir prolog ✨.
Yes, author emang mulai ceritanya dari ujung—dari momen paling nyesek—biar kalian bisa ngerasain dulu gimana rasanya nahan perasaan selama 1.460 hari wkwk.

Di bab-bab selanjutnya, kalian bakal diajak balik ke masa-masa awal yang pernah Viena lalui. Semoga kalian suka sama perjalanannya Viena yaa🤍.

salam hangat,
-xfiaa__

1.460 DaysWhere stories live. Discover now